Selasa, 28 September 2010
PELATIHAN KEPEMIMPINAN RAKYAT
PMK HKBP – Jakarta untuk kedua kalinya menyelenggarakan pelatihan Community Leaderhip Formation (CLF) di Wisma Kinasih, Bogor, 16-20 Mei 2010. Sebanyak 32 peserta dari berbagai daerah di Indonesia (Papua, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Banten, Jakarta, Indramayu, Sukabumi dan Garut) berkumpul dan belajar bersama membangun kepemimpinan organisasi rakyat di berbagai bidang kehidupan: petani, nelayan, buruh, buruh migrant, guru dan pemuda.
Selain saling berbagi pengalaman, peserta juga dibekali dengan berbagai materi, a.l.: analisa sosial dan politik, globalisasi – neoliberalisme dan negara bangsa, membangun jaringan, etos kerja, revolusi rakyat, gender, managemen keuangan, dan organisasi rakyat.
Dalam evaluasi, peserta mengakui pelatihan ini telah menjadi ajang belajar bersama dari berbagai pengalaman peserta yang beragam, menambah jaringan serta memperkuat tekad dan semangat melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sekembalinya ke tempat masing-masing. (BS)
Senin, 27 September 2010
NENEK MOYANGKU ORANG PELAUT RAKYAT PESISIR SEMAKIN BANGKRUT
Nenek Moyangku Orang Pelaut
Rakyat Pesisir Semakin Bangkrut
Masyarakat pesisir, rakyat penghuni perkampungan miskin dan kumuh di tepian pantai pulau – pulau Nusantara kini tak bangga lagi menyanyikan lagu “Nenek moyangku orang pelaut”. Soalnya nasib rakyat pesisir, terutama nelayan pinggir pantai (tradisional) yang tak memiliki perahu motor, sungguh malang. Mereka terpuruk oleh pengusaha – pengusaha perikanan (nelayan berdasi) yang memiliki armada penangkapan ikan. Sebagian besar dari mereka kemudian menjadi buruh nelayan. Singkat kata, Rakyat pesisir bangkrut dan teraniaya.
Seabreg persoalan menggempur masyarakat pesisir: mulai dari ketidakjelasan kawasan tangkap ikan, untuk nelayan tradisional, ketidaktahuan dan kesulitan mengakses bantuan pemerintah, bobroknya pelayanan public, instansi pemerintah, sampai kepada maraknya praktek kejahatan perdagangan orang (trafficking). Paling tidak itulah yang terkuak dalam berbagai kegiatan Center for Indonesia Migran Worker (CIMW) Jakarta, sepanjang 2009-2010 menjangkau masyarakat pesisir dibeberapa desa nelayan di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Kegiatan yang bermula dari upaya memperkuat organisasi untuk mantan buruh migran dan keluarganya, berkembang menjadi keperdulian kepada seantero masyarakat pesisir, termasuk nelayan, petani, pedagang kecil dan berbagai usaha rakyat untuk bertahan hidup. CIMW sadar betul, persoalan buruh migran tak lepas dari persoalan komunitas, tempat BMI berasal, baik di pesisir maupun pedalaman yakni: kemiskinan dan ketidakadilan. Tak mungkin mengatasi persoalan buruh migran tanpa keperdulian kepada kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat sekitarnya.
Bila pada nomor – nomor terdahulu Jurnal Rakyat melaporkan kiprah BMI di Indramayu atau Sukabumi (Jawa Barat, Sabah (Malaysia) dan Lembata, Adonara, Flores (NTT), dalam nomor ini diwartakan kisah masyarakat pesisir dari Tanjung Tiram dan Pantai Labu, Sumatera Utara serta Karawang, Jawa Barat.
CIMW percaya, nasib rakyat bisa berubah bila ada kemauan memperkuat dirinya melalui organisasi agar mampu menegakkan hak dan martabatnya. Dengan berjuang melalui organisasi rakyat yang kuat, berdaulat dan demokratis, masyarakat pesisir bangkit dari kebangkrutan dan bisa lagi menyanyikan lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut“.
SELAMAT MEMBACA
HAI RAKYAT, GUNAKAN HAK REVOLUSIONERMU
Hai Rakyat, Gunakan Hak Revolusionermu
“Negeri ini dan segala institusinya adalah milik rakyat yang menghuninya. Manakala jenuh dan muak terhadap pemerintah, mereka dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengubah atau hak revolusionernya untuk meruntuhkannya.”
Ungkapan paten dari Abraham Lincoln 150 tahun silam dalam pidato pertama sebagai Presiden Amerika Serikat, dikutip Indera Nababan sebagai contoh bagaimana hubungan hubungan rakyat dengan pemerintah. Karena hampir seluruh aspek kehidupan rakyat di negeri ini carut-marut akibat semua institusi yang ada telah gagal melakukan tugas yang diembannya, rakyat perlu bertindak berdasarkan hak revolusionernya.
Revolusi Rakyat. Itulah topik bahasan yang dikemukakan Indera Nababan dari PMK HKBP Jakarta, dalam kegiatan Urban Community Leadership Formation Training Programm, yang diselenggarakan oleh INDEMO dan PMK HKBP Jakarta, 24 – 28 Mei 2010 di Vila Baladegana, Bogor. Partisipan pelatihan adalah 23 orang pemimpin kelompok-kelompok aksi mahasiswa Jakarta, pemimpin serikat buruh, serta pergerakan kaum “cacat”. Ada beberapa mantan aktivis gerakan reformasi tahun 1998. Tujuan kegiatan, berefleksi atas 12 tahun perjalanan reformasi dan bagaimana upaya memperkuat rakyat untuk melakukan perubahan yang cepat dan mendasar, agar sesuai dengan cita-cita dan harapan rakyat.
Bagi Indera, situasi Indonesia hari ini benar-benar sudah amburadul. Perubahan lewat “demokrasi prosedural” yang dianut selama 12 tahun di bawah bendera “reformasi” sudah tidak menjanjikan. Nyaris tak ada lagi yang dapat dibanggakan di republik ini, Mana bisa di negeri yang memiliki tanah yang begini luas, jutaan petani justru tak bertanah, karena pemerintah tak pernah tegas menjalankan reforma agraria. Korupsi merajalela, hutan lindung dijual ke orang asing, jutaan orang jadi buruh dengan upah murah atau jadi budak di negeri seberang. “Kalau republik ini mau selamat, dapat disejajarkan dengan bangsa yang bermartabat, dibutuhkan sebuah perubahan cepat di segala bidang kehidupan bernegara. Perubahan cepat itu namanya revolusi,” tegas Indera Nababan.
Ada partisipan bertanya, “Aktivis-aktivis selalu mendengungkan revolusi. Persoalannya ketika perubahan terjadi, teman-teman aktivis justru tidak siap. Pola apa yang harus dipakai? “Tanpa partisipasi rakyat, tak ada guna jadi aktivis,” sergah Indera. Pola apa yang harus dipakai teman-teman, lanjutnya, akan Anda temukan di lapangan. Yang penting ada kesatuan visi dan misi. Ia memberi contoh, karena kekuatan buruh terkotak-kotak, padahal isunya sama, maka kaum buruh tetap tak bisa sejahtera. Karena itu, katanya lagi, membangun kesadaran rakyat adalah kerja yang maha penting. “Tanpa rakyat, kita tidak bisa apa-apa,” tegasnya.
Pembicara lain dalam pelatihan itu adalah Edicio dela Torre, mantan pastor dan mantan pemberontak dari Filipina. Dia bicara tentang Globalisasi, Neoliberalisme dan Negara Bangsa. Persoalan dunia sekarang, tutur Ed (sapaan akrabnya), adalah penggiringan keuangan dan ekonomi yang menguntungkan negara kaya. Dua pertiga dari populasi masyarakat di negara kaya (utara) menikmati keuntungan dari globalisasi ekonomi ini, dibandingkan dengan hanya sepertiga populasi negara selatan yang menikmatinya. Tantangan di Filipina dan Indonesia tentang dampak globalisasi adalah pengaruh global terhadap pemerintahan. Pemerintah di negara-negara ini sudah tunduk tak berdaya menghadapi neoliberalisme alias tekanan pasar bebas.
Karena itu, urai Ed lebih lanjut, kita tak mungkin mengatasi situasi ini secara sendiri-sendiri. Rakyat harus terorganisasikan di tingkat lokal, beraliansi secara nasional dan berjaringan secara internasional. Kekuatan rakyat adalah kunci, namun bermain di pentas lokal tak cukup. Harus ada sekutu secara nasional dan didukung jaringan internasional. Untuk itu rakyat perlu memanfaatkan keuntungan dari teknologi informasi dan komunikasi. Inilah peran penting kaum muda terdidik di era globalisasi: memampukan organisasi-organisasi rakyat memanfaatkan perkembangan teknologi dan komunikasi.
Ada isu yang sama antara Indonesia dan Filipina terhadap globalisasi menurut Ed, yakni pemerintah negara kita tidak berpihak kepada rakyat. Ini justru ancaman sekaligus peluang. Kita harus mengelola tujuan perjuangan kita. Karena itu, kata Ed: “Teman-teman harus berjuang dan jangan membuang banyak energi untuk persoalan-persoalan sepele. Kita harus punya banyak tenaga untuk berjuang secara berkesinambungan. Cita-cita kita tentang negara sejahtera adalah menimbun jurang antara si kaya dan si miskin. Untuk perlu mengakumulasi setiap kekuatan. Globalisasi akan membuat jurang yang lebar dan dalam, akan disambut oleh gerakan protes rakyat, dan kita perlu munculnya pemimpin-pemimpin baru. Karena itu pelatihan seperti ini sangat penting. Ketika momentum datang, kita siap untuk mengambil alih.”
Disamping kedua pembicara senior, hadir juga dalam diskusi-diskusi, Beator Suryadi, Ray Rangkuti dan Eggi Sujana. Ray memaparkan topik Dialektika Demokrasi. Apa yang terjadi di negeri ini sekarang, ungkap Ray, adalah kekacauan politik dan kesemrawutan. Ini karena orang mengukur demokrasi hanya secara teknis, prosedural dan menafikan substansi. Akibatnya yang paling mengerikan adalah perselingkuhan atau kartel politik. Adapun fasilitator pelatihan adalah Amir Daulay dari INDEMO dan Henry Darungo dari PMK HKBP. Henry membagi pengalamnnya ikhwal kiat-kiat membangun dan memperkuat organisasi rakyat, sedangkan Bung Amir menekankan pentingnya ketrampilan bicara di depan umum (public speaking) dan pemenfaatan media dalam perjuangan.
Dan inilah syair yang muncul dalam pelatihan:
Acungkan tinju kita
Satu cita
Memperkuat pergerakan rakyat
Kokoh, berdaulat
Rapatkan barisan
Dengan satu tekad bulat
Jalan revolusi rakyat
Menegakkan keadilan
Merdeka!
JANGAN DATANG SEBAGAI ORANG PINTAR
JANGAN DATANG SEBAGAI ORANG PINTAR
“Kita harus mengubah paradigma kita. Jangan datang sebagai orang pintar. Namun berjuang bersama mereka. Jangan kita anggap mereka tak bisa apa-apa.” Itulah pesan Pdt. Santoni Ong, Ketua Oikumene Masyarakat (Oikmas) Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah Jawa Barat, tatkala membekali 11 orang muda asal Papua lulusan Sekolah Tinggi Teologia (STT) Setia Jakarta, yang akan kembali ke kampung halaman. Pesan itu disampaikan dalam kegiatan “Pelatihan Pengembangan Sikap Mahasiswa Papua”, di GKI Kav Polri, Jelambar, Jakarta Barat, pada 8, 14 dan 15 Mei 2010.
Pelatihan yang difasilitasi oleh Jemaat GKI Kav Polri bersama PMK HKBP Jakarta ini, bertujuan, mempersiapkan para sobat muda yang akan kembali berkiprah di Papua untuk memiliki visi bersama dalam mewujudkan Papua sebagai tanah damai yang berkeadilan dan sejahtera. Adapan materi yang digali dan dibicarakan bersama antara para fasilitator dan partsipan pelatihan meliputi Potret Diri dan Analisis Situasi, Organisasi Rakyat dan Komunikasi serta Spiritualitas dan Etos Kerja.
Melalui materi Potret Diri dan Analisis Situasi, Henry Darungo mengajak partisipan menggali pengalamannya selama menjadi mahasiswa di Jakarta dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan rakyat Papua. Beberapa sobat, seperti Ham dari Nabire, Friska dari Merauke, Wilmince, Samuel maupun Agustina, menganggap kesenjangan sosial karena ketidakladilan yang sangat terasakan ketika mereka pertama tiba di Jakarta. Dari kampung-kampung miskin di Papua, mereka tiba di Jakarta, kota yang dipenuhi “hutan “ gedung bertingkat. Tampaknya kekayaan yang disedot dari Papua atau kawasan lain Indonesia telah bermuara di Jakarta. Toh ada yang lucu, menurut Ham: bila di Papua “orang miskin tidur di dalam, orang kaya tidur di luar, “ maka di Jakarta terbalik, “orang miskin tidur di jalan (gelandangan dan orang miskin kota ) , orang kaya tidur di dalam (penghuni rumah-rumah mewah)”. Di Papua, orang miskin tidur dalam rumah-rumah sederhana mereka karena tak mampu jalan-jalan, tak ada uang. Sedangkan orang kaya yang punya duit (apalagi dari hasil korupsi), menghabiskan uangnya di luar rumah, bahkan sampai mabuk dan tidur di jalan.
Akan halnya Organisasi dan Komunikasi, seantero partisipan menyumbang pendapat. Mutiara menyebut, organisasi adalah wadah untuk berkumpul bersama dalam satu visi dan misi. Friska merumuskannya: perkumpulan orang-orang yang bekerjasama untuk melakukan atau mengerjakan hal-hal yang berguna bagi banyak orang. Jeffry menambahkan, sekumpulan orang yang di dalamnya ada badan pengurus, anggota, visi, misi dan tujuan bersama. Alhasil visi adalah mimpi, cita-cita, harapan atau tujuan bersama yang ingin dicapai dan misi adalah tugas yang harus dilakukan untuk mencapai cita-cita tadi. Fasilitator menekankan pentingnya sobat-sobat ini memperkuat organisasi rakyat, baik itu masyarakat adat atau kelompok-kelompok pemuda dan perempuan, di tempat pelayanan mereka nanti, agar rakyat memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan. Hanya melalui organisasi rakyat yang kuat, rakyat memiliki kemampuan untuk menegakkan hak dan martabatnya.
Kendati begitu, tanpa proses berkomunikasi yang baik, suatu cita-cita sebaik apapun tak akan terwujud. Itulah pentingnya kaum muda Papua yang akan pulang kampung perlu berintegrasi, menyatu dengan rakyat Papua yang akan dilayani. Mulai dari apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Jangan karena merasa datang dari Jakarta, merasa hebat, tahu semua dan mau menggurui rakyat. Itu hanya mengundang kegagalan.
Materi pamungkas adalah Spiritualitas dan Etos Kerja yang disampaikan Pdt. Santoni. Spiritualitas, adalah keyakinan yang tumbuh dari sebuah gaya hidup yang digerakkan oleh roh (spirit). Gaya hidup yang gerakkan oleh Roh Allah. Nah, bagaimana kita digerakkan oleh Roh, di tengah konteks kita yang dilanda kemiskinan yang parah, oleh ketidakadilan yang mengakibatkan penderitaan rakyat Papua. Pdt Santoni merumuskannya dalam ungkapan, “menjaga hidup dengan berbuah, menjadi berkat bagi sesama karena memiliki karakter dasar, yaitu kasih.”
Etos kerja sangat berhubungan dengan spiritualitas. Karena kerja, tegas Pdt Santoni, adalah anugerah, yang adalah pertolongan ilahi yang tidak diminta namun diberikan untuk kebaikan manusia. Karena itu, etos kerja yang baik ialah, Bekerja dengan tulus dan bekerja dengan syukur. Selain kerja sebagai anugerah, kerja juga adalah kepercayaan dan persembahan hidup. Dan sebagai manusia yang bertumbuh ke arah yang lebih baik, kerja adalah aktualisasi diri, kemampuan mengembangkan potensi diri, untuk mencapai yang terbaik.
Jadi selamat pulang kampung, bekerja bersama rakyat, memperkuat rakyat Papua mewujudkan keadilan, menuju Papua Tanah Damai
Senin, 02 Agustus 2010
Monitoring TKI di Sabah
Di Sabah
Boni Sagi, staf Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW) berkesempatan melakukan kunjungan monitoring Buruh Migran Indonesia (BMI) di Sabah pada 8 – 20 Agustus 2009. Kunjungan ini terlaksana berkat kerjasama dengan Dioses Sandakan, paroki St. Dominic Lahad Datu, paroki Holy Trinity Tawau serta Susteran Putri Reinha Rosari (PRR) di Nunukan.
Empat hari di ‘Land Below the Wind’ (8-12/8/’09)
Menurut John Baptis, Ketua Majelis Paroki Katedral st. Mary-Sandakan, Land Below the Wind adalah julukan kota Sandakan sebagaimana diberi oleh Agnes Keith, sastrawan Inggris. Kota Sandakan memang cantik, apalagi jika ditengok dari kejauhan Tepekong besar di atas puncak bukit. Selain cantik, Sandakan juga sedang membangun dan berbenah diri. Julukan lain ‘the little Hong Kong’ masih menyisakan jejak-jejaknya. Barangkali dengan sejarah ini, bisa dipahami, Sandakan adalah ’kota multikultural’. Orang berkewarganegaraan Indonesia banyak dijumpai di sana terutama dari Indonesia timur (Adonara, Larantuka, Lembata, Solor, Ende, Manggarai).
Pertemuan dengan Komiti Keluarga Besar Katolik Indonesia (KKBKI) paroki St. Mark pada Minggu (9/8), mempertegas hal ini. Puluhan TKI dengan anak-anak mereka menghadiri pertemuan. Menurut Petrus Bala Bean (Ketua KKBKI), organisasi ini telah diresmikan pastor paroki pada 12 Juli 2009. Dialog terbuka siang hari itu mengidentifikasi tiga persoalan pokok yang dihadapi TKI di sana, sebagaimana dicatat oleh Frans Hayon (Sekretaris KKBKI). Tiga persoalan itu adalah: soal pasport/IC yang sampai saat ini belum diterima TKI sejak pemutihan setahun silam; soal pendidikan anak-anak yang tidak bisa bersekolah di sekolah Kerajaan Malaysia; dan soal gaji yang tidak sesuai dengan kontrak dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kunjungan lapangan dan pertemuan dengan TKI di Batu 8, Gum Gum Manis, Taman Buaya dan Batu 16, memperkuat identifikasi persoalan TKI di sana. Di Batu 16 banyak anak yang tidak bersekolah. Dan berangkat dari keprihatinan itu, ibu Emiliana, jemaat gereja st. Mark, merelakan waktu senggangnya mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Gereja st. Mark bersama KKBKI juga membuka sekolah minggu yang juga mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Seorang bapak, pada pertemuan di Batu 16 mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dasarnya serta keluarga dengan gaji kurang lebih 12 RM sehari. Dan hal itu menjadi semakin berat, karena uang jaminan pasport juga mencekik.
Pada Selasa (11/8/’09) sore, CIMW bersama mama Margaretha Francis (bendahara KKBKI gereja st. Mark) dan Joseph Sudirman (dari Manggarai-Flores), berkesempatan berjumpa dengan Mgr. Julius Gitom (Uskup Sandakan). Mgr. Yulius sangat terbuka dengan kunjungan-kunjungan seperti ini, tidak hanya dari kalangan Katolik, tapi dari kalangan mana saja. Beliau mengatakan bahwa persoalan buruh migran adalah persoalan yang sangat kompleks dan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk Ornop/NGO. Mgr. Yulius juga menceriterakan pengalamannya semasa Padre dan melayani di ladang-ladang (kamp). Ia menyatakan keprihatinannya atas kondisi kerja para buruh migran di ladang-ladang, serta gaji buruh yang hanya 10 RM/hari. Menurut Bishop, hal seperti ini sudah merupakan bentuk eksploitasi. Untuk urusan Gereja pun, persoalan buruh migran kadang rumit, terutama berkaitan dengan pembaptisan dan pernikahan. Ada pekerja migran yang di kampung halamannya sudah memiliki suami/istri; dan ketika dia merantau mendapatkan suami/istri baru. Hal ini membuat status perkawinan mereka bermasalah, demikian pun status anak-anak yang dilahirkan dari pasangan seperti ini. Ketika disinggung, apakah mungkin keuskupan membentuk divisi pastoral khusus untuk pekerja migran, Uskup Yulius mengatakan itu merupakan ide yang baik. Hanya saat ini belum terlaksana karena sedikitnya sumber daya keuskupan. Keuskupan Sandakan baru dua tahun berdiri, dan masih banyak hal yang harus dikerjakan. Demikianpun soal kerjasama dengan keuskupan-keuskupan di Indonesia yang banyak jemaatnya merantau ke sana adalah ide yang baik, tapi membutuhkan waktu untuk merealisasikannya. Dengan latar belakang ini, menurut Bishop kehadiran pihak-pihak lain yang prihatin dengan berbagai segi persoalan pekerja migran ini dipandang sebagai hal yang positif. Uskup Yulius berharap pemerintah Indonesia dan Kerajaan Malaysia bisa lebih intens membicarakan persoalan kemanusiaan pekerja migran dan menemukan solusi-solusi yang baik.
Empat hari di Lahad Datu (12-16/8/’09)
Keterlibatan Komuniti Kristian Dasar (KKD) sangat membantu dalam kunjungan selama empat hari di Lahad Datu. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari koordinasi Ft. Simon Kontou dan Ft. Jasery Gabuk (pastor paroki st. Dominic), serta pak Petrus dan pak Sipri dari Keluarga Pastoral Indonesia (KPI).
Pertemuan singkat dengan jemaat KKD Wawasan kembali mendiskusikan soal pasport buku yang sampai saat ini belum diterima setelah pemutihan setahun silam, padahal mereka sudah membayar sampai Rp 3 juta . Anak-anak yang tidak sekolah juga menjadi keprihatinan bersama di sini, juga berkaitan dengan kecilnya gaji yang mereka terima dibandingkan dengan kebutuhan hidup setiap hari.
Dalam sharing dengan Ft. Simon dan Ft. Jasery, dikemukakan bahwa persoalan dokumen adalah persoalan utama yang menyebabkan masalah-masalah lain baik dengan Kerajaan Malaysia maupun dengan gereja. Diharapkan keberadaan KPI turut membantu menemukan jalan keluar dari berbagai persoalan yang dihadapi pekerja migran Indonesia di sana.
Kunjungan ke sekolah Humana di Dam Road no. 86 yang menampung anak-anak para migran yang tidak bisa bersekolah di sekolah-sekolah Kerajaan menegaskan kehadiran pengharapan dan inisiatif positif di tengah situasi ketidakpastian, walaupun ala kadarnya. Di sekolah Humana yang dikunjungi, terdapat 420 anak yang dilayani ”hanya” oleh 3 guru.
Pertemuan dengan KKD Dam yang dihadiri oleh kurang lebih 25 jemaat (kebanyakan dari Larantuka dan Adonara) mengingatkan pentingnya persaudaraan dan solidaritas di tanah rantau. Selain saling menguatkan satu sama lain juga didiskusikan persoalan-persoalan bersama. Antara lain berkaitan dengan perbedaan gaji, dan juga perbedaan pelayanan di tempat publik (seperti di rumah sakit) antara yang hanya berpasport dengan yang memiliki IC. Menurut mereka gaji yang ber-IC lebih tinggi dari pada yang hanya berpasport, demikian pula pelayanan di rumah sakit, yang ber-IC didahulukan dan lebih murah dibandingkan dengan yang hanya berpasport. Dari persoalan-persoalan yang didiskusikan bersama, kita sepakat bahwa persoalan kemanusiaan seharusnya menjadi tolok ukur dalam mengambil kebijakan dan tindakan.
Pertemuan dengan belasan ibu di KKD Kampung Damai yang berasal dari Flores, Lembata, Solor dan dari Toraja serta beberapa anak kecil yang tidak bersekolah menampakan optimisme dan harapan hidup yang terpancar dari kaum ibu sekaligus keprihatinan untuk anak-anak cucu mereka yang tidak mendapat kesempatan bersekolah. Sama halnya dengan ibu Emiliana di Sandakan, ibu Dora di Kampung Damai pun memanfaatkan waktu luangnya secara sukarela mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Namun ibu Dora mengalami kesulitan fasilitas Alat Tulis Kantor (ATK) untuk anak-anak ini. Ia berharap ada pihak yang mau membantu dia dalam penyediaan buku-buku dan alat-alat tulis bagi anak-anak ini.
Perjumpaan dengan ibu Martina, pak Jeffrey dan pak Johny dari Komite Keluarga Toraja, mengingatkan pentingnya solidaritas lintas suku dalam mengatasi persoalan-persoalan bersama, sambil menyisakan harapan semoga pemerintah Indonesia ”lebih bijak dan berperhatian serius” dengan pahlawan devisanya.
Sharing bersama 20-an jemaat dari berbagai KKD di gereja San Dominic Lahad Datu menutup kebersamaan selama beberapa hari di Lahad Datu. Ada harapan ke depan, kebersamaan dan solidaritas bisa ditingkatkan demi kebaikan bersama.
Empat hari di Tawau dan Nunukan (16-20/8/’09)
Di Tawau, pak Gabriel Nunang sebagai ketua Keluarga Indonesia paroki Holy Trinity menjadi organiser lapangan. Hari pertama, CIMW berjumpa dengan 50-an jemaat basis Batu Lapan yang sebagian besar adalah pekerja Indonesia dengan anak-anak mereka. Sebenarnya jemaat ini sedang akan mengikuti ibadat mingguan. Tapi kami menggunakan waktu satu jam sebelumnya untuk berdiskusi bersama. Banyak hal yang dibicarakan, terutama berkaitan dengan pasport/IC dan juga tentang sekolah anak-anak mereka yang tidak jelas. Di jemaat itu ada sekolah alternatif yang didukung paroki Holy Trinity bagi anak-anak yang tidak bersekolah di sekolah formal untuk membaca, menulis dan mengira dasar. Dari sana kita ke rumah keluarga ibu Ros yang berasal dari Lembata. Rencananya kita akan berdoa bersama memperingati keluarga-keluarga bu Ros yang sudah meninggal. Di tempat bu Ros kita berjumpa 20-an orang Lembata, Adonara, Kupang dan Rote. Dalam acara keluarga ini, saya banyak mendengar tentang suka duka kehidupan di negeri jiran ini.
Perjumpaan dengan puluhan saudara-saudari dari timur Indonesia pada acara perayaan ulang tahun perkawinan pak Gabriel dan keluarga memberi inspirasi tentang merayakan kehidupan di mana pun kita berada. Solidaritas dan kebersamaan menjadi semakin penting di tanah rantau. Dan kebersamaan dan solidaritas itu menjadi semakin bermakna ketika itu dipakai untuk membantu satu sama lain keluar dari persoalan bersama. Sebuah pertanyaan yang muncul dari pekerja migran Indonesia di sana adalah: mengapa biaya pembuatan paspor di Nunukan jauh lebih mahal dibandingkan jika paspor dibuat di Tawau? Ada keinginan dari saudara-saudari di sana untuk bisa bertemu muka langsung dengan Konsul ataupun pejabat-pejabat lain yang berkaitan dengan nasib mereka di tanah rantau, karena ada banyak hal yang ingin mereka sampaikan. Semoga ke depan apa yang diinginkan saudara-saudari ini bisa terwujud.
Adalah kabar baik berjumpa dengan sr. Silvia, Prr, cs dengan komunitas PRR di sekolahan Fransisko-Yashinta - Nunukan. Juga dengan Pastor Dwija Iswara, MSF dan bapak M. Vincentius dari Komisi Pastoral Migran Perantau Keuskupan Tanjung Selor. Percakapan-percakapan dengan beliau dan juga kunjungan-kunjungan lapangan yang dibuat bersama, a.l. ke bekas penampungan TKI yang dideportasi dan juga ke asrama sekolahan anak-anak TKI Fransisko-Yahinta, menegaskan betapa kompleksnya permasalahan TKI. Karena itu pemerintah Indonesia harus benar-benar serius menangani persoalan TKI ini. Jangan sampai istilah ”orang Indonesia menjual kepala orang Indonesia sendiri” sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Dwija, terus dilanjutkan. Tentu saja gereja atau pihak-pihak lain pun, termasuk Ornop/NGO, juga mesti mengambil bagian sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan jauh lebih penting dari itu, diharapkan rakyat mampu mengurus dirinya sendiri.
Catatan Akhir
Melihat kompleksnya persoalan-persoalan yang dihadapi pekerja migran (Indonesia) dibutuhkan visi baru (baik dari negara pengirim maupun dari penerima) untuk mendukung kebijakan-kebijakan baru yang benar-benar merupakan artikulasi dari persoalan etis kemanusiaan. Hanya jika bertolak dari itu, perubahan sejati baru dapat terwujud. Perubahan yang berpihak pada keadilan dan partisipasi aktif dari setiap orang. Dan buahnya adalah pulihnya martabat kehidupan serta terwujudnya perdamaian. Perjalanan ini adalah bagian dari pengartikulasian ini. Terima kasih untuk semua pihak yang sudah dengan caranya sendiri membantu saya Melihat, Mendengar, Merasakan dan Mencatat (4M) terutama berhubungan dengan isu-isu pekerja migran (Indonesia) dalam lawatan ini.***(Boni Sagi)
Isu Pelayanan Buruh Jakarta
(Kampanye Upah Layak)
Jakarta - Kegiatan forum diskusi “Tolak Upah Rendah” diikuti oleh 21 elemen serikat buruh, berhasil membentuk kelompok “Solidaritas Nasional Tolak Upah Rendah”. Pertemuan difasilitasi oleh Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ) di kantor PMK HKBP-Jakarta, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Wakil Serikat Buruh yang tergabung dalam forum ini berasal dari sektor industri sepatu dan apparel di wilayah Banten, Jakarta, Bogor, Cikarang – Bekasi dan Sukabumi.
Dua kali diskusi yaitu pada 20 Februari dan 11 Maret 2009 menyepakati bahwa anggota harus meyakinkan serikat pekerja masing-masing untuk bersatu dan mendukung gerakan menggempur sistem pengupahan yang belum berpihak pada buruh. Juga terbentuk tim kerja berdasarkan wilayah kerja, yaitu: Cakung, Banten I, Banten II, Sukabumi, Citeureup dan Cikarang serta satu tim pendukung yang menyusun rencana kerja tim besar. Tujuannya adalah penguatan buruh di tingkat basis (PUK), survei penentuan upah tingkat lokal, dan advokasi terhadap pelanggaran upah.
Penetapan UMK (naik dan turunnya) sebagai jaring pengaman justru tidak ada relevansinya. Seperti diketahui, Serikat Pekerja (SP) dan Apindo hanya mengatur draft pengupahan, pemerintah-lah yang menetapkan hasilnya. Yang diuntungkan adalah dewan pengupahan. Upah menurut Pasal 1 Ayat 30 UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atas jasa yang telah atau akan dilakukan.
Meskipun Indonesia terkena dampak krisis global dan gelombang PHK terjadi di mana-mana, buruh tetap memperjuangkan upah layak (decent wage campaign). Resesi di Amerika dan Eropa tidak dapat dijadikan alasan memberikan upah rendah bagi buruh.
(Ad)
Warta-Warta
Lebih baik berusahalah supaya keadilan mengalir seperti air dan kejujuran seperti sungai yang tak pernah kering (Amos 54:21–24)
Oleh krisis global yang melanda dunia saat ini, rakyat Indonesia semakin sengsara. Harga produk pertanian merayap, padahal pupuk mahal, bahkan jadi ajang perselingkuhan pejabat dengan distributor yang tentu mencekik petani. Bayangkan bagaimana nasib petani tak bertanah? Padahal pemerintah menjagokan program ”Ketahanan Pangan”.
Di sektor industri, bencana tengah menggempur industri tekstil. Permintaan dari Amerika dan Eropa menurun 30-40 %, sekitar 100 ribu dari 1,2 juta buruh di sektor ini akan dirumahkan dan tahun 2009, konon 50% buruh Indonesia atau sekitar 45,5 juta
orang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Akan halnya, Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) alias buruh migran lebih menyedihkan lagi. Gelombang PHK telah dimulai di Hongkong, Taiwan, Korea, menyusul Singapura dan Malaysia. Itulah kutuk neoliberalisme yang menjagokan keperkasaan pasar bebas. Jadi kata kunci adalah: jatuh. Rupiah jatuh, sawit, karet, minyak jatuh. Padi, apalagi dilibas banjir, jatuh. Jagung bibit unggul karena tak ada pupuk jatuh. Alhasil, sokoguru bangsa: petani, buruh dan nelayan (yang tak bisa beli solar mahal), berguguran bagai daun kering terjerembab tak berdaya di tanah tandus. Jatuh sudah. Ajaib memang, pemerintah tak jatuh-jatuh, padahal Semakin Banyak Yang Jadi Korban.
Maka Sempurnalah Penderitaan Rakyat …
Kendati penderitaan rakyat semakin sempurna, renovasi gedung DPR dan rumah pejabat di pusat dan daerah jalan terus. Mobil mewah laku terus. Di sebuah kabupaten di timur nusantara, mobil Rangers Double Cabin, jadi angkutan lapangan eksekutif dan legislatif. Di kelas ini, rasa-rasanya tak ada krisis. Untuk apa pusing-pusing memikirkan rakyat yang selalu diguncang pertanyaan: apa bisa makan hari ini?
Bagi para birokrat, anggota DPR/DPRD, pimpinan parpol dan sebangsanya pertanyaan itu berubah: makan di mana hari ini? Yang serem para investor rakus: makan siapa hari ini? Jadi, sempurnalah penderitaan rakyatmu, tuan dan nyonya besar…
Suara Nabi di Tengah Gurun
Di tengah gurun ketidakadilan ini, di kubangan penderitaan rakyat, umat rindu suara nabi. Kutipan teks dari Nabi Amos di awal tadi kurang digunakan birokrat gereja, namun sungguh popular di kalangan umat yang sengsara. Amos, nabi pertama dalam Alkitab, yang pesannya dicatat secara terperinci. Ia mengritik pejabat kerajaan dan pemuka agama Yahudi yang tak peka atas ketidakadilan. Ia membentak bangsa yang menjadikan ibadah sebagai perayaan-perayaan atau pesta semata tanpa kepedulian atas nasib rakyat. Ibadah seperti itu kata Amos, bakal ditolak Tuhan. Allah, tutur Amos, menghendaki keadilan bergulung-gulung seperti air.
Dari Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja se Dunia (DGD-WCC) di Porto Alegre, Brazil, 2006, terbit sebuah dokumen latar belakang yang “menghardik” globalisasi ekonomi yang menjujung neoliberalisme, ekonomi pasar bebas. Dokumen itu berjudul Alternative Globalization Addressing People and Earth. Akronimnya adalah AGAPE, kata dari bahasa Yunani yang berarti Kasih. Dokumen ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia di bawah judul, “Globalisasi Alternatif mengutamakan Rakyat dan Bumi.” Diktum neoliberalisme menurut dokumen ini, “pada dasarnya neoliberalisme mengubah segala sesuatu dan manusia menjadi komoditi. “
Penguasaan neoliberalisme terhadap kekayaan material yang melebihi penghargaan akan harkat dan martabat manusia, membuat manusia diperlakukan tidak selayaknya, mengorbankan kehidupan manusia dan alam demi ketamakan. Buahnya adalah ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, kelaparan, pengangguran yang melanda bagian terbesar penduduk dunia dan berakibat kepada kematian. Seiring dengan itu masalah-masalah lingkungan hidup semakin meruyak: pemanasan global, penipisan sumber daya alam, terbentuknya gurun hijau (perkebunan sawit yang terlantar karena sawit jatuh) serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Di sisi itu, pemerintah dan pengusaha kita adalah birokrat dan kapitalis yang menjadi agen neoliberalisme atau neolib itu. Ada bangunan yang seragam dari Banda Aceh sampai Jayapura sebagai wajah gemilang neolib: mal, ruko dan Swiss Bell Hotel …
Keberanian Melawan Arus
Bagaimana tanggapan gereja-gereja di Indonesia terhadap situasi ini? Pada 1-5 Desember 2008 di Wisma Samadi, Klender, Jakarta, 80 orang pimpinan gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), utusan kaum perempuan dan pemuda, para pelaku ekonomi, politik dan budaya, yang prihatin atas situasi itu terlibat dalam konsultasi Nasional Gereja dan Ágape.
Tema Konsultasi, “Tuhan, dalam Rahmat-Mu, Ubahlah Dunia”, dengan subtema, “ AGAPE dari Deklarasi Menjadi Aksi”.
Presiden DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia), Pdt. Dr. SAE Nababan, dalam renungan pada pembukaan konsultasi mengritik gereja yang tidak peduli terhadap ketidakadilan yang berlangsung di tengah masyarakat. Ia menguraikan, ada tiga penyebab sikap ketidakpedulian itu, (1) pengejaran keselamatan jiwa (kesalehan pribadi sebagai warisan pietisme), (2) kuasa tradisi gereja yang membentuk pola pikir dan pola hidup manusia, yang hampir bersifat mutlak, dan (3) keterbatasan pergumulan yang terus-menerus dengan Firman Tuhan di tengah perjalanan hidup. Karena ketidakpedulian ini, kita cenderung menjauhkan diri dari ketidakadilan yang mendera rakyat, tidak berani bersama rakyat menghadapinya dan secara tegas memberitakan, mengusahakan dan menegakkan keadilan bagi semua orang, sebagai kehendak Allah.
Dr. Nababan menegaskan, kerinduan mendalam setiap manusia dan setiap komunitas manusia bahkan setiap bangsa adalah memperoleh keadilan dan perdamaian.
Karena hanya dengan adanya keadilan dan perdamaian, kehidupan manusia dapat berkembang sejahtera. “Keduanya tak terpisahkan”, ujarnya. Ia menyatakan kegembiraannya dengan kehadiran peserta konsultasi, walau hanya kelompok kecil. Namun kelompok yang peduli, dan di hadapan Tuhan, kelompok-kelompok kecil ini juga mewakili gereja. Kehadiran dalam konsultasi ini, menurut Nababan, adalah keberanian melawan arus, pada saat kebanyakan orang terpukau, terlena bahkan terbenam arus globalisasi.
Melalui diskusi, penggalian pengalaman, analisis sosial, Ibadah, refleksi teologis, peserta bergumul, menafsirkan ulang teks Alkitab sesuai dengan konteks, membaca kembali secara kritis. Kesadaran yang muncul adalah, gereja sejatinya menjadi komunitas yang transformatif dengan mengembangkan teologi yang berpihak kepada rakyat dan bumi. Untuk itu perlu upaya terus-menerus memampukan gereja menjadi gerakan ketimbang institusi yang berpihak kepada rakyat dan bumi.
Andaikan Tak Ada Pesta Natal
Konsultasi tak bermakna bila tak disusul aksi. Tentu, gereja-gereja atau komunitas Kristiani di negeri ini mampu merumuskan aksi sesuai konteks masing-masing. Kendati begitu, ada sesuatu yang sangat konkret yang dapat dilakukan bersama-sama, kalau mau.
Di pekan-pekan advent, menyongsong natal ini, sebaiknya kita membebaskan diri dari jerat neolib. Misalnya, tak perlu membeli pohon natal serta segala perniknya di mal-mal. Yesus yang lahir dalam kemiskinan kenapa mesti dirayakan dalam kegemerlapan? Kita toh bisa meracik sendiri tema natal dan segala perniknya di rumah kita dengan apa yang ada pada kita. Ada kembang, ada pohon hidup di rumah, dan terutama mempersiapkan hati yang penuh shalom (damai sejahtera).
Pesta Santa Claus atau sinterklas itu sihir neolib, boikot saja. Tak ada gunanya buat kita. Dan coba Anda hitung ongkos pesta natal di negeri ini secara total. Konon orang Kristen anggota jemaat gereja-gereja anggota PGI yang ada 87 sinode itu sekitar 10 juta. Kita hitung secara sederhana, ada sekitar 20 ribu komunitas atau jemaat yang masing-masing 500 orang anggotanya. Biasanya pesta natal setiap jemaat paling sedikit Rp 20 juta misalnya. Berapa uang terkumpul setiap pesta natal? Tak kurang dari Rp 400.000.000.000 (400 milyar rupiah).
Belum lagi natal marga, keluarga, polisi, DPR/D, Parpol, dan seterusnya dan seterusnya. Berapa trilyun uang yang dibuang sia-sia untuk pesta, yang menurut nabi Amos, tak disukai Tuhan? Berapa sekolah dan rumah sakit untuk rakyat bisa dibangun?
Andaikan gereja-gereja bersatu mengembalikan pesta natal kepada situasi natal yang pertama, kita tidak perlu berpesta di tengah semakin sempurnanya penderitaan petani, nelayan dan buruh. Dan kita akan mampu mengatasi neolib …
LOKAKARYA PENGUATAN ORGANISASI RAKYAT PAPUA DI BINTUNI
Agar Korban Mampu Melawan Ketidakadilan, 18 perempuan dan laki-laki warga Kelompok Teluk Bintuni, Propinsi Papua Barat, terdiri atas koordinator suku, pemimpin adat, pekerja gereja, tokoh perempuan dan pemuda, berkumpul di Gereja Sion Sibena GKI di Tanah Papua Klasis Bintuni, menggumuli persoalan; bagaimana memperkuat organisasi rakyat Papua. Kegiatan Lokakarya Penguatan Organisasi Rakyat Papua, diselenggarakan oleh PMK HKBP Jakarta, bekerjasama dengan Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI- TP) yang berlangsung pada 22-25 November 2008.
Kabupaten Teluk Bintuni boleh jadi salah satu kawasan di Tanah Papua yang memperlihatkan acara terang cengkeraman globalisasi ekonomi pasar bebas; kehadiran pertambangan batu bara minyak, pabrik kayu lapis, serta yang paling mutakhir tambang gas alam BP Tangguh. Semua ini berakibat kepada semakin rusaknya hutan hujan tropis serta tergusurnya rakyat Papua. Kekayaan alam yang disedot dari Teluk Bintuni sebagian besar dinikmati pusat-pusat bisnis dan kekuasaan di Jakarta.
Jadi kalau ditanya kepada rakyat di Teluk BIntuni apa dampak globalisasi maka jawabnya tak jauh berbeda dengan peserta lokakarya ini : (1) Orang Papua terpinggirkan, (2) lingkungan hidup rusak, (3) mutu pendidikan rendah, (4) budaya Papua (bahasa, tarian, kearifan) rusak, (5)perempuan Papua sengsara.
Kendati begitu, ada juga catatan positif seperti tergali dalam diskusi dengan Pdt.Jaspert Slob perihal “Globalisasi dan Papuanisasi”. Yang positif dari globalisasi berkaitan dengan semakin berkembangnya demokratisasi,pengetahuan baru serta teknologi informasi. Peserta juga menganggap dengan bercermin dari dampak negatif, bisa melakukan introspeksi, bagaimana memperkuat diri sendiri.
Menurut Pdt. Slob, globalisasi harus diimbangi dengan penguatan rakyat Papua yang disebutnya Papuanisasi. Sekarang sudah banyak orang Papua menjadi aparat dan pejabat pemerintah. Bagaimana menyadarkan mereka agar tidak lepas dari akar budayanya sendiri dan berpihak kepada kepentingan rakyat Papua. Di sini, kalau rakyat Papua merasa selama ini jadi korban ketidakadilan, mesti memperkuat dirinya melalui organisasi rakyat yang demokratis untuk menegakkan keadilan dan perdamaian.
Indera Nababan mengajak peserta untuk mulai bertanya; apakah rakyat Bintuni, masyarakat tujuh suku, bisa mengorganisir diri, sungguh-sungguh bersatu untuk bisa menjadi pemenang? Bagaimana membuat agar organisasi rakyat disini benar-benar bersatu dan demokratis ? Apakah dengan Teluk Bintuni ini menjadi kabupaten, rakyat sudah sejahtera?
Nah, itu semua mesti diperjuangkan, kita harus memampukan organisasi-organisasi rakyat yang ada di sini, apakah itu organisasi adat, perempuan, pemuda,bahkan gereja, bersama-sama sadar kemudian membangun kekuatan untuk menegakkan keadilan. OR harus menunjukkan kekuatan rakyat untuk melakukan perubahan. Dengan mengorganisasikan dirinya, rakyat menuntut penghormatan dan penghargaan sebagai manusia yang memiliki harga diri. Organisasi rakyat berjuang untuk menegakkan martabat manusia. Jika itu terjadi, maka cita-cita rakyat bagi kehidupan yang sejahtera dapat diwujudkan, karena rakyat telah mampu mengurus dirinya sendiri.
Dalam kesempatan itu, Bupati Bintuni drs. Alfons Manibuy memberikan paparan ikhwal “Teluk Bintuni Hari Ini”.Ia gembira dengan lokakarya ini karena diharapkan oleh kesadaran baru, rakyat semakin mampu berpartisipasi di dalam proses pembangunan.
Alhasil lokakarya menurut peserta berhasil menyadarkan mereka untuk melakukan introspeksi tentang percepatan di antara rakyat Papua sendiri. Karena itu, mereka menyusun tindak lanjut antara lain:
(1) Membenahi struktur kelembagaan masyarakat adat mulai dari tingkat kampung, distrik hingga kabupaten,
(2)Perlindungan dan penguatan masyarakat adat dari basis masing-masing,
(3) Memberdayakan para perempuan Papua Teluk Bintuni untuk memperjuangkan hak-haknya.
(4) Membenahi organisasi pemuda Bintuni (IPTB= Ikatan Pemuda Teluk Bintuni) agar menjadi organisasi rakyat yang kuat dan demokratis.
CIMW news
Jakarta - Sikap kasar dan tidak senonoh yang dilakukan oleh majikan terhadap tenaga kerja Indonesia/wanita (TKI/W) di luar negeri, menyebabkan banyak TKW harus kembali ke Indonesia dengan kondisi sakit, cacat hingga hamil ataupun membawa anak hasil perkosaan oleh majikan. Perbuatan yang dilakukan bisa berupa omelan, makian, pemukulan, pelecehan seksual hingga pemerkosaan.
Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW), sebagai salah satu lembaga yang perduli atas kondisi buruh migrant di Indonesia, menyelenggarakan kegiatan pelatihan “Trauma Healing” pada 25-28/12/08. Kegiatan bertujuan berbagi (sharing) pengalaman mengenai permasalahan yang dihadapi TKW selama bekerja di luar negeri, serta melakukan proses penyembuhan dalam mengatasi trauma yang dialami. pelatihan dilaksanakan di Crisis Center CIMW, Jl. Bulu Perindu Blok W No.7, Duren Sawit, Jakarta Timur. Kegiatan diikuti oleh 20 peserta yang mayoritas perempuan yang merupakan mantan TKI/W dari Indramayu dan Sukabumi.
Suster Brigita sebagai salah seorang fasilitator, sudah cukup berpengalaman dalam proses trauma healing. Banyak kegiatan yang sudah dilakukannya untuk membantu survivor (khususnya korban bencana di Aceh dan Jogja) berperan dalam proses penyembuhan agar mereka pulih dari trauma atas kejadian yang telah menimpa mereka. Dalam kegiatan pelatihan Trauma Healing bagi mantan TKI/W oleh CIMW ini, mereka dikenalkan pengertian trauma dan cara penyembuhannya. Gejala-gejala yang umum timbul setelah mengalami masalah seperti ini adalah sering merasa tidak sehat (pusing, sakit kepala, mual, dll), rendah diri, selalu cemas, bahkan depresi untuk kasus yang lebih berat seperti pemerkosaan.
Proses kegiatan penyembuhan yang dilakukan oleh Suster Brigita dan tim, adalah dengan memberikan pelatihan Capacitar yang meliputi pelatihan pernafasan, gerakan Tai Chi yang bertujuan untuk melepas masa lalu dan membuka diri untuk menerima keadaan, pelatihan pengendalian emosi menggunakan jari-jari tangan, serta cara pemijatan untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan akibat trauma yang dialami. (Adi)
PBJ news
Lokakarya Buruh Perempuan
*Reintegrasi Buruh Perempuan dalam Menghadapi Krisis Global
Jakarta - Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ) PMK HKBP Jakarta (organisasi non pemerintah) yang mempunyai fokus program pada buruh pabrik telah melaksanakan lokakarya dengan tema ”Buruh Perempuan dan Tantangan Global”. Lokakarya yang ditujukan untuk buruh perempuan ini telah diselenggarakan secara berseri sebanyak 3 tiga kali mulai November – Desember 2008 yang lalu.
Lokakarya itu dihadiri 62 peserta, berasal dari wilayah industri Cakung Cilincing, Balaraja, Tangerang, Serang, Bogor dan Bekasi. Tujuan lokakarya, bagaimana buruh perempuan dapat mengetahui dampak krisis global terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Materi yang diberikan selain terkait dengan globalisasi dan gender, lokakarya ini menganalisis situasi sejumlah negara-negara kaya saat ini yang mengalami resesi, sebagian karena kredit yang ketat dan sebagian lagi karena melonjaknya harga minyak pada 2008. Pendapatan nasional di Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang turun. Selain itu banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan dan lemahnya daya beli konsumen, mengakibatkan perekonomian Amerika Serikat mengalami kemunduran.
Di Indonesia, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah terjadi di sejumlah perusahaan yang tersebar di berbagai daerah sejak beberapa bulan lalu. Pada 2009 diperkirakan lebih dari 3 juta buruh akan di PHK, terutama di bidang manufaktur dan perdagangan. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK hingga November 2008 mencapai 66.603 orang. PHK mulai terjadi Januari hingga Maret 2008. Tingkat PHK tertinggi di DKI Jakarta sebanyak 14.268 orang, Jawa Tengah (1.190), Maluku (515), Kalimantan Barat (496), Riau (407), dan Sumatera Selatan (112). Kebanyakan yang di PHK adalah buruh pabrik tekstil yang mayoritas perempuan. Sementara di Sumatera Utara sebanyak 20.000 orang dirumahkan.
Menindaklanjuti tiga lokakarya buruh perempuan itu serta melihat situasi yang mengancam buruh pabrik, PBJ mencoba untuk mengadakan Dialog terbuka antara buruh perempuan dengan pihak terkait yang bertema “Reintegrasi Buruh Perempuan Dalam Menghadapi Krisis Global”. Kegiatan itu dilaksanakan pada 30,31/01/09 - 1/02/09, di Wisma Samadi, Jln Dermaga 6 Klender, Jakarta Timur. Narasumber yang diundang antara lain dari Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, Direktur Utama PT JAMSOSTEK (Persero), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Cq Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja DEPNAKERTRANS RI, Gubernur BI Cq Direktorat Kredit BPR, UMKM BANK Indonesia, Ibu Parkati (Pelaku Usaha Kecil dari Mantan Buruh Pabrik), Carla June Natan (Koordinator PMK HKBP Jakarta). Tujuan dari kegiatan itu adalah agar Buruh mendapatkan gambaran terkait dampak krisis global terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia khususnya terhadap buruh perempuan. Bersamaan dengan itu, yang dapat dimanfaatkan oleh buruh dalam memperoleh informasi mengenai dana-dana pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan global. (Adi)
Minggu, 25 Juli 2010
Spreading AGAPE in Indonesia
TO INVESTIGATE THE 'AGAPE' CAMPAIGN IN INDONESIA: FROM THE VOICE IN THE AIR TO ACTION"
Undoubtedly the book Alternative Globalization Addressing People and Earth (AGAPE) - a background document published by World Council of Churches which in Indonesian translation bears the title: “Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan Bumi” is widely discussed in the churches in Indonesia. It is not common that WCC documents widely distributed and discussed in several places in Indonesia like Jakarta, Medan, Palangka Raya and Bitung. This book is vastly distributed in the churches from North Sumatra to Papua.
This book does not only echoes in the air; a mere thunder clap in seminary at least in North Sulawesi, Central Kalimantan and in North Sumatra actions have shaped as peoples movement.
After the consultation with National Church on AGAPE, 1-5 December 2008, WCC document has been made as discussion material in the churches. Next to this two other regional consultations in Central Kalimantan and North Sulawesi were also conducted.
The following are the sparks of the story behind the message and recommendation of the consultation.
VOICES IN THE CLOUDS
In Medan, North Sumatra, on July 2008, a book discussion on AGAPE was held. It was attended by about 50 (fifty) people of various denominations of churches; the gathering held was in HKBP church at Jl. Uskup Agung Sugiopranoto, Medan. This gathering was lighted by an auto criticism by Rev. Dr. Robinson Butar-butar upon the leaders of churches in Indonesia that forget their duty in spreading this document.
Rev. Dr. Robinson Butar-butar said:
1.Thanking the translation, publication and holding seminars upon the book AGAPE. Why? Because this initiative enables the churches including the leaders of the churches to share the content of this book to all believers and to avoid the contents of the book remain in the memories of the leaders of the church, or to remain in the libraries.
2. We ought to be thankful, for it is no secret that the results of the consultations in the ecumenical movement in the national and international level which are very important remain only in the “memory” or left on the tables of the participants. Although the results have been filled the Indonesian language. It is seldom that the books and especially its contents are brought into seminar and spread out. Though there are efforts to hold seminars, but efforts to implement it is not done to the maximum by the participants, the leaders, the academicians or other activists of the churches for the welfare of the congregation, the public and the nation.
3.Why should the efforts of PMK HKBP Jakarta and CPE Medan be gratified? Because, in reality, this book AGAPE is published since the year 2005. The original book has been presented and distributed to the participants of the conference of World Council of Churches in Porto Alegre, Brazil in the month of February 2006. The book was distributed in 2005 not only as an important document for the general assembly of 2006 in the light of the theme to continually pray to God to transform this world, but also to bring home by the participants to their respective countries. As a practical action in imparting the biblical message that liberate, gospel that renews, and the gospel which is for life in the era of globalization.
4. But this is forgotten by many of the participants who return to their respective countries, including those who come home to our country Indonesia, including the leaders whose head offices are in North Sumatra. As if their burden in facing their daily duties are too big. As if they are awaiting that God Himself will do it even the effort of translating the background document of AGAPE itself is not done by the leaders of the churches. Who else to translate the contents of the document for the benefit of the public and the congregation for whom the church is for. On the contrary it is brought to seminars by Center for Popular Education (CPE), which is an extended part of PMK HKBP Jakarta in Medan.
5.This book is the result of efforts of the churches in the whole world including churches that live and work in the countries that empowers the global economy that is not fair. Therefore the viewpoint observed in this book is the viewpoint of the victims of that unfairness, and the viewpoint of the churches in the countries that empower the unfair global economy wishing to alter the situation and oppose the believers to realize what really is happening, what negative result has and will happen due to their attitude, and put forward the alternatives they ought to undertake to alter the situation. The data presented are the data about situation of the victim of the impair means.
6. More interesting thing is the struggle of action that is put forward by the results of this consultation. The actions put forward are not to retain the international unfairness, not actions to stay away from problems. Not even to remain criticizing the cause of the international unfairness. But the action is to propose a concrete alternative, and constructive means to overcome of the global unfairness.
7. Churches do not only criticism towards globalization of the neo-liberalism, but are aware that churches have reached the point to develop one world vision that is fair with love and inclusively. Prosperity is for all not for a handful of people alone.
What can the congregations practically do?
1. To hold seminars on the book using the potential the congregation possesses.
2. To study this book absorbing the bible categorically and prayer meetings in routine intensively.
3. Encourage the priests to put forward the values suggested in this book in imparting and giving the messages of the gospel, and also to implement pastoral services observing the followers as victims of the global injustice, to uplift to free themselves as individuals and as groups.
4. To support the congregation to discuss the contents of the book with religious groups or others to see the relevant undertakings in the local context.
AGAPE does not only criticize the soul and spirit of globalization, that is non-liberal, and the consequences towards the majority of the poor people of the world as well as to the earth itself, but also to campaign one vision of the world with just and love and inclusive. It means that in this book determines the more to impart the message of the gospel, contextually in this globalization era. This has to be done because the motivation and the aim of neo-liberalization of the economy of the world are against the will of God. That everyone lives even life with dignity and continually.
As for Rev.Kuntadi Sumadikarya.MTH, The President of sinode of Gereja Kristen Indonesia West Java Region (GKI-Indonesian Christian Church) to face globalization members of the church have to be prepared with renewed life. There is a set of qualities tested critically then changed so that the members may meet the “spirituality that is needed and required to face globalization”
He begins with the question, what really is the aim in human life. Often this becomes our thought day and night filled only with the search for money and to elevate our riches as though money is the most important aim in this life. This fact very often leads people to emptiness, so as to create the ironical statement “Eat to live or live to eat?” assessing oneself, we can conclude that such aim in life is very shallow and not sincere. We spend our lives to look for money can be interpreted as “we spend our life aim for mammon” Symptom of this saying is spreading the world (globalization) and our spirit (materialization) whereas everything in this world is measured with the measurement of mammon.
Rev. Kuntadi further affirms that to refresh our memory the gospel says “no one can serve two masters. If so, he will hate the one and love the other, or he will be faithful to the one and will not heed the other. You cannot serve God as well as mammon” (Mat 6:24/ Luke 16:13)
Based on this, however great our faith may be we will always set aside, that is if our lives in reality serve mammon. To serve mammon does not mean that we kneel before money or bow before wealth. Serving mammon may happen without our consciousness, as the major part of our lives we spend in thinking of how to acquire materials. The bible clearly refers that human lives ought to be spent for God not for mammon. God is godly spirit. Mammon is material. Luther and Calvin formulated that the aim of human beings is to praise God. This quotation is emoted in the bible. Human are created to praise God. So it is imperative that “we spend our life-time for God” Paul affirmed “if you eat or if you drink, or when you do something else do them all for greatness of God (1 Corinthian 10:31).
Hence, for that there need to be a process of renewal of life. According to Rev. Kuntadi Sumadikarya significant renewal of life will immediately start to occur when the call of God in everybody's work is internalized and carried forth. This matter is done not in similar nuance. It is differently than done before through the work and the result is similar. It is no more a secular work, but a sacred work to be offered to God only. It is no more for money alone, but to create the Kingdom of God that is peaceful and prosperous on this earth. With this renewal of life we dethrone mammon of our lives and prepare the throne only for God.
The renewal of life that promises holistic living of the body and soul, because of the faithfulness toward Christ and His gospel.
The renewal includes:
1.Personal piety deepened and renewed. Our personal piety is very precious but generally is volatile. It is important to deepen and to renew individual piety to be holistic. Individual piety that was focused to the church has to be broadened to the world. So holistic spiritual is “individual piety that is deepened and renewed, that is combined with care of the world.
2.Aim in life of a Christian
The reality in life drags a Christian to place material in central position. Money, income and riches (which indeed is needed) generally becomes our aim which is shallow and not noble. The gospel as well those who renewed the church have thought that aim of life to praise God that is the main purpose of the creation of human.
3.The presence of God in the work place
It is assumed that to praise God is only at the church. That only Christian tends to be “the salt and the light of the church.” In fact God presents everywhere including our work place. There every Christian praises God inserting the values of profession and work. God creates humans follow.
4.View on profession and work.
Profession is call, work is service. Service to God is done through service to fellow humans. Profession and work always mean activities serving customers, partners, clients, patients etc. Service in this work spiritually has links with service to God.
5.Theological understanding of the call
God's call is aimed to all and every Christian. The call is linked with status and work (1 cor7:17). Luther and Calvin teach that every kind of work (profession) is the call of God to love fellow beings and to change the order of the world right. In other words each Christian becomes the creator of God's kingdom on this earth. When all and each Christian does their work as God work they become “the salt and the light of the world”
6.Noble intrinsic value of profession and work
Besides applying services to God through services to fellow beings, the Lord gospel and the doctrines of the church also directs work toward noble intrinsic value of profession and work. Doctrines of apostolic believers, position of prophetic faith, priest and monarch, etc give spirit to the profession and work of Christian. God gospel so far understood narrowly, textually, is observed widely, contextually, for we see them with spiritual eyes and renewed perception.
7.Renewal of life is not an effort separated between the church and the world, a contrary it is holistic that occurs in the lives of each and every member.
WHEN SAYING BECOMES ACTION
If the AGAPE campaign in Indonesia remains in talks, sayings, speeches or discourses then this vanish like dust blown by the wind. Thanks the story is not so. The messages formulated, recommendation as well as the result of the discussions by National Consultation (Jakarta 2008), East Indonesia Consultation (in Palangka Raya, Central Kalimantan in 2009), Regional Consultation of Churches in Central North Sulawesi (in Bitung, North Sulawesi in July 2009), and book launching (in Medan, North Sumatra in July 2009) and discussions in churches throughout Indonesia have been spurring into action or movement in reality.
Walk the Talk
North Sulawesi
After the AGAPE and churches regional consultation in July 2009, the people of North Sulawesi started to act. It is mentioned that the community of a coconut plantation ex workers at Mangkit village, in the regent of South East Minahasa, claimed about 700 hectare of former HGU ground that they lived in for 25 years to be recognized and certificate be issued by the government. The representatives of the community who are members of Minahasa Evangelical Church (GMIM) and KGPM participated in the consultation. They felt that they are fortified after joining the meeting in Bitung.
The action of this Mangkit community is interesting to investigate. In August 2009 they made consolidation. People's organizations were strengthened. Further they started to criticize the attitude of the village head that is suspected of not siding the people but of complicity with the company of the plantation that wanted to extend their right to cultivate the land. The people discharged the village head and elected a new head who supports the people's demand. In the movement, the Mangkit community supported by the priest of congregation coordinated with the functional division of the GMIM Synod and PMK HKBP -Jakarta.
On the 14 September 2009, The Mangkit community held a public dialogue about Agrarian Reform in their village attended by 200 participants, men and women. Besides Mangkit community also present people organization represented as delegates of people’s community who were having problems with the land title. They were from Pulau Lunabe (Bitung town), Merinsow village (North Minahasa district, Basaang and Ratatotok villages (South East Minahasa District), Tomohon town and Roigar village (Bolaang Mangondo District). The speakers in this discussion (upon invitation of the people) were the chair person of the National Board of Agrarian Reform Consortium who is also the Secretary General of Pasundan Farmer Union, Mr.Agustiana, and the head of Regional office BPN (National Land Bureau) North Sulawesi,Mr. Andreas Ginting. Agustiana affirmed that now is the time for people to fight for their land rights. He also hoped that Agrarian Reform become the main program for the services of the church through the functional division of GMIM. This action sincerely includes the church in problems that people face. GMIM will be the first church in Indonesia that fights for the reform of the agrarian laws. The head of the BPN North Sulawesi district office reminded that in the claiming for land efforts for the people to observe the procedure of the law. In this opportunity people's delegates from various communities who had undergone land dispute put forward their difficulties and inabilities in fighting for their land rights. Based on their experiences the local governments ignore the claim of the people and defend the interest of the business people.
The Mangkit community steps forward: to settle this land dispute in the national scale. They prove that the people can manage themselves and revive the coconut plantation that has been left unheeded, to turn it as ancestral inheritance that will give them new life.
After the public dialogue in Mangkit, strengthening the people organization workshop (labor, farmer and fishermen) was held in Bitung on 24-26 September 2009. Delegates from Mangkit community started to debate on land dispute. The activity that took place in the army officer’s school was facilitated by the Deputy Mayor of Bitung with facilitators from PMK HKBP Jakarta. The participants faithfully attended for 3 days, 24 people including 6 women leaders.
Analysis of the participants on Bitung, an area of 30.400 hectares, populated by about 180 thousand people is a growing area of fishing industry, agricultural and tourism business.
The town that is arranged in 8 sub-districts and 60 villages appears clean for Indonesian standard; the first impression appears to be prosperous (no dangling beggars). But fishermen at the edge of the shores lost places to move their boats, because the fish processing factories have seized their places. The labors are still struggling with the wages and most of farmers do not own land. On the other hand polluted neighborhood and illegal fishing is also threatening.
According to information from the representatives of several government agencies, namely from the agricultural and fishing departments, that aid from the government for the farmers and fishermen are quite huge. It could be in the form of physical aid such as equipment for production and skill training. But according to several agricultural groups in the dialogue the aid they received were not according to their proposal. The fishermen group stated that there was an aid channel to wrong group, not reaching the appropriate group but to the group hastily formed by the members of the district parliament (DPRD). In this opportunity the farmers also proposed the government to built roads towards the centre of the agricultural products so that the farmer’s products could reach the market sooner.
Other activities encountering the church and the people related to the issue of AGAPE in North Sulawesi are seminars on working ethos and opportunities of business in Bitung and Tomohon. These activities were carried out with the cooperation with the functional section of the synod of GMIM and PMK HKBP Jakarta and the synod of GKI of West Java district. The seminar was held 2 (two) times : 28 September 2009 in Baitel Church, GMIM Girian Bitung, attended by 30 participants and on 29 September 2009 at Gereja Anugerah GMIM Paslaten, Tomohon attended by 60 participants. As resource persons were Mr. Peter Gunawan Suryanegara and Rev. Santoni from GKI Jawa Barat. It was put forward that working ethos is of vital importance, for each person wishing to grasp the business opportunity to enhance the congregations’ economic state as an alternative to capitalism neo-liberal economy. The work ethos is the spirit of the process of work. The work ethos is the enthusiasm and attitude of a group of people or culture including : the motivation to act, fundamental spirit, fundamental thoughts, ethical code, moral code, code of behavior, attitude, aspirations, beliefs, principle and standards.
They also stressed that work is a blessing, work is a mandate, work is a call, work is devotion, work is an art, work is honor and work is service. As supplement to work ethos, they discussed the trick of strategic management among others are, before starting a business an analysis of strength, weakness, opportunity and threat has to be done (SWOT analysis). Every business has to consider 3 factors; those are trustworthiness of the product, method of managing with manners and the familiarity with costumers. The participants of the seminar were housewives who make cakes, souvenirs, stores owners, contractors and agribusiness people.
Central Kalimantan
As a follow up of the AGAPE consultation in Palangka Raya, the synod of GKE (Kalimantan Evangelical Church) invited PMK HKBP Jakarta to join the workshop of strengthening people's organization in Tamiang Dayang 4-8 August 2009. The theme of the workshop was “Addressing Peoples and Earth”. The 50 participants comprising of peasants driven away from their farms by coal mines and palm-oil plantations in the East Barito, South Kalimantan. Besides the farmers community there were also present leaders of Kaharingan religion (indigenous religion of Central Kalimantan), Islam and church workers. This activity dug out the wishes and the experience of the people through the method of participating. Group discussions and the plenary sessions succeeded in formulating communities’ strategic issues, efforts to strengthen the people’s organizations and action plan as follow up. The recommendation of the participants absolutely opposed the palm oil plantation and showed a critical attitude to the coal mine, for besides driving people to poverty these enterprises also threat the natural environment.
This workshop also stressed upon what the leaders of Dayak of Kalimantan often put forward. That is about the local wisdom and the awareness of the social environment that can be developed through cultural dialectical process among people. The Dayak people live in the interior and the upstream have local wisdom that is worth studying. Through the wild forest are treated as the source of people's necessities through nomadic fields in primary or secondary forests, where they go for hunting, fishing gathering vegetables and fruits and cut trees to build their homes, but there are traditional institutions to be obeyed so as to keep the harmony and longevity of the natural environment is preserved.
The advantage and the management of the forest by the hinterland Dayak based on collective management, team work, mutual share and mutual assistance in the contexts of social production. To throw away rubbish anywhere, to clean the forest to one's own need without any consideration of others is quite contrary to the values of local wisdom.
Banten and West Java
To PMK HKBP Jakarta, the AGAPE document inspires a community building work that is more comprehensive. While the focus of the activities of PMK HKBP Jakarta are factory workers and migrant workers now it cannot ignore the people's invitation to care for community building problems in the field of agriculture, indigenous people, victims of conflict, damaging of social environment. In fact this is not new, for since 2002 PMK HKBP Jakarta has been involved in peace building activities through trainings in Kalimantan, Poso-Maluku, Aceh and Papua. But it is the AGAPE campaign that has spurned PMK HKBP Jakarta to focus on people's organization based on community potentiality. In this way the strength of the people is directly involved in the economic growth, and in setting community living.
In the district of Serang, Banten the approach for total community development started in Cangkudu village and later followed by Bakung village. The community of Bakung village after joining the consolidation led by the village head succeeded in insisting the government to support to reforestation of the village by the people. They also demanded the government to facilitate the clean water installation for their village. It is still being struggled. The approach to community development based on potentiality is also tried in the districts of Sukabumi and Indramayu, West Java.
North Sumatra
On an invitation by Lau Kersik village, in Gunung Sitember of Dairi district, in North Sumatra, PMK HKBP Jakarta and CPE Medan conducted the community development program. At first the activity was focused on the rehabilitation of clean water installation constructed in 1997 a donation of the church.
As the following process discussions the people suggested several other immediate needs besides the water installment, the consolidation of the prevailing people’s organization, the development of people economy, training in organic farming and to develop facility that support the people is need such as: hardening the roads, and a village auditorium.
The people's organization is more focus in the reposition of people's organization to be able to take part in accessing the sources of fund allotted by the government for the welfare of the people. The sources of fund among others are through APBD (District Income and Spending Budget), PNPM (National Program on Community Empowerment) independent, KUR (Credit for People), UMKM (Small and Medium Enterprises) and other departments program. Indeed the source of fund reserved by the government is quite big, but people are do not know how to access.
Meetings/trainings that were held refer to the awareness of people to benefit from the aid in responsible manners. In further development of drinking water project the leader of people's organization are lead to negotiate with the local government that promised to fund through APBD. The process of negotiation is still in progress. On the other side the effect of accessing through PNPM Mandiri has become a story of success by itself. One of the groups of organization from the village that proposed the activity to the district has succeeded in winning the competition so that this village acquired the project of hardening the roads in the village to the capital of the district, and the housewives got loans for women, 4 groups of farmer organization in the village acquired aids of IDR 10 million each in 2009, and it increased to IDR 20 millions in 2010. For hardening the roads the village got IDR 700 million for the length of 30 km. This year they got an opportunity to negotiate to build an auditorium.
Besides the farming groups also indulge in training of rejuvenating cocoa and coffee plants and elimination of pests and plant disease of chilly and corn plants. The result of the training in elimination of pests for chilies and corn and grafting of cocoa plants and trimming coffee plants has given a good fortune to the farmers towards the end of the year 2009. They acquired a handsome sum (The prices of coffee, cocoa and chilly were good). Indonesian Farmers Prosperous Forum (FUTASI) in Pematang Siantar and Simalungun September 2009 succeeded in reclaiming 30 hectares of land of PTPN IV (State Plantation Company) in Bangun, Gurilla. About more than 125 families that fought for the land immediately planted corn and the result was delightful. After that activity they conducted training on strengthening the organization facilitated by CPE Medan.
The villagers are more confident, what they do is an effort to appreciate that the land is a living source hence they hinder the use of artificial fertilizer. Apart from endangering the soil it is also to avoid high cost in buying artificial fertilizer.
Now FUTASI (consisting of 2000 families in 19 groups) is active in consolidating organizations. On the Gurilla plot of 135 hectare seized in 2004 there are about 150 houses erected. Not all of its members received land 800m2 (2 rante) per family, as the area of the land does not suffice. Public facility that has been arranged by the people is roads among the blocs. In the mean time facility for clean water is to be installed as a result of the negotiation of the organization with the local government. The place itself has natural water resource from the springs so only piping is needed to supply clean water to the houses. The facility for electricity is being struggled for and in no time it will be realized. They are also building a network with the groups of farmers without plots in Asahan, North Labuhan Batu, Simalungun, Serdang Bedagei, Deli Serdang, Tanah Karo and Langkat in Agrarian Reform Forum (FRAS). The aim of this forum the land dispute in North Sumatra should be won by the farmers so that the plantations now prevailing which are the prolongation of colonial plantation may be transformed into people's plantations. To give an example on 17 February 2010, farmers group from a village in Sukarame, in the district of North Labuhan Batu reclaimed the people’s land that had been robbed by P.T. Sawita Leidong Jaya since 1997 an area of 250 hectares. Farmers’ Welfare Forum (Forum Tani Sejahtera) supported the efforts through consultation and training to apply proper steps for the seizure. Now about 125 families have started to build houses and plant corn, chilies, ginger, coffee and other plants. In short the land that was left barren all the while is cultivated and considered as ancestor inheritance.
Another incident still in the province of North Sumatra is the efforts of people dwelling along the coast wishing to vegetate back the eastern coast with mangrove. This is done in Percut village, Percut district Sei Tuan. The fishermen group has planted 25 hectare of land along the coast with mangrove on the financial support of the forestry department of kabupaten Deli Serdang.
In the neighboring district of Pantai Labu there is observed a group lead by Ucok Dogol. He planted coastal plants besides mangrove along the coastal line in the village of Regemuk and farmed crabs. His effort later was immolated by other groups of people of the villages along the coast. They are accessing fund for the vegetation from the local forestry department. The experience of one of the churches in North Sumatra, The Batak Karo Protestant Church (GBKP) shows their effort to overcome people poverty and to elongate the social environment has become the church's program though it is tough to perform. GBKP tried to elevate the rightful living that is solitary forwarding the values that are included in AGAPE document such as
To bring and elongate the overwhelming to all (Yoh 10:10b)
To develop an economic system that is fair, honest, participating and elongating attitude of the nature.
To develop life with the spirit of love, sharing, dignified and to care for the integrity of creation (Psalm 104:30)
To show that God take sides of the poor (Mat 25:35-36)
To do and develop activities with equal gender principle (Galatians 3:29)
This is implemented in the form of empowering people through the program of affectionate diakonia, building diakonia, joint-venture business diakonia and union credit.
Realizing the activities of diakonia cannot progress well without the ability of people who are consequent, therefore the Parpem of GKBP has organized the farmers of Tanah Karo and Deli Serdang who are parts of credit union (CN) to develop a farm organization that is strong through farm union of Deli Serdang (STDS) and farm union of Tanah Karo (STTK). Through this organization the farmers struggle to get access to the sources of fund and power from the government and control over the farming policies that are not pro the people.
In the month of December 2009 PMK HKBP Jakarta and CPE Medan joined the humanitarian service conducted by Indonesian Humanitarian movement of GKI Jabar (Indonesia Christian Church) Synod of West Java District. This is an ecumenical work that is touching because it shows the care of the church to the suffering people. The work done consisted of health-care service and free medical treatment to the people suffering from flood calamity in Mandailing Natal district North Sumatra. The medical team of 19 consisted of doctors and para-medics who were members of the church from both GKI Jabar and PMK HKBP-Jakarta staffs. After traveling from Jakarta, the team has to travel by bus for 2 days to reach the Bulusoma village and Tarlala village in the district of Batana Natal, the flooded area in the beginning of the fasting month of 2009. About 20 houses and several mushola were washed away. In Bulusoma village GKI also donated for the re-building the musholla that was at the edge of the river, and which is often used by female farmers. These villages had never acquired any aid from the government for their misfortune. About 500 people suffered from various kinds of diseases, mostly from (ISPA) breathing problem, itchiness, and headaches. All of whom were rendered service by the team patiently.
All throughout the services in North Sumatra the group was accompanied by a priest from GKPA (Angkola Christian Church) and a friend from the Muslim community of Penyabungan, Mandailing Natal. On their way back from Mandailing Natal the team stopped over in Siborong-borong, in the district of North Tapanuli to conduct a health examination and free medication. About 600 hundred people were served. The kind of diseases did not differ much; those were ispa, itchiness, diarrhea, dizziness and stomach-upset. A valuable lesson one can take from this event is that, humanitarian movement that gives preferential services to common people deep in the interior have demolished the walls of suspicion of ethnic as well as religion. Another matter is that parts of people in the remote villages are attached by various kinds of diseases.
CONCLUSION
These are a few examples of people's activities in the effort and care for elongated earth, while elevate the standard of their lives. At least these are the things that could be recorded, because of other activities in the community building program with the potential of PMK HKBP Jakarta. From the above story we firmly believe that people are able to manage themselves in elevating the prosperity of their lives. People have tried to bury their loud voices in the clouds to bring into real life in action.
PMK HKBP – Jakarta 2009
Selasa, 20 Juli 2010
PMK HKBP - Jakarta Menatap 2021
PERENCANAAN STRATEGIS
PMK HKBP – JAKARTA
2010 – (2013) - 2021
LATAR BELAKANG
Gereja sebagai persekutuan orang percaya, dipanggil dan diutus ke dalam dunia untuk bersekutu, bersaksi dan melayani untuk menghadirkan damai sejahtera Allah di tengah-tengah kehidupan umat manusia dan alam semesta. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai bagian dari gereja yang am, dipanggil dan diutus untuk bersekutu, bersaksi dan melayani di tengah masyarakat
Sejak tahun 1984, HKBP distrik VIII Jawa – Kalimantan telah memulai pelayanan di tengah-tengah masyarakat kota, pelayanan dalam upaya perbaikan kualitas hidup buruh melalui penelitian, pendidikan, penyadaran dan pengorganisasian agar semakin mampu memperjuangkan hak-hak mereka di dalam melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam proses pembangunan dan industrialisasi. Kesadaran pelayanan HKBP distrik VIII kepada masyarakat
Sejak 1990-an, ketika terjadi dinamika dalam tubuh HKBP dan dalam upaya tetap mempertahankan tugas panggilan tersebut, pekerjaan PMK HKBP dan dalam upaya tetap menjalankan tugas panggilan tersebut, pekerjaan PMK HKBP Distrik VIII Jawa-Kalimantan dirasakan perlu mencari bentuk organisasi yang lebih sesuai dengan keadaan yang mampu menjamin terlaksananya tugas panggilan dengan tetap mempertahankan semangat pendiriannya sejak semula yakni tetap menjadi bagian dari pelayanan HKBP. Para pendiri dalam upaya tetap mempertahankan semangat panggilan gereja untuk melayani masyarakat
PMK HKBP –
Keprihatinan inilah yang membuat CCA meluncurkan gerakan URM Asia akhir tahun 1960-an untuk memerangi kemiskinan dan ketidakadilan. Penguatan rakyat adalah kata kunci perjuangannya. Rakyatlah yang mesti menjadi pelaku pembangunan dan sejarah bagi diri dan komunitas mereka. Hal ini bisa terjadi jika organisasi mereka kuat. Pendekatan URM adalah rakyat mesti melawan kekuasaan yang menindas mereka dengan menggunakan semua aturan hukum, budaya dan politik untuk mencapai tujuan mereka. Metode Saul Alinski digunakan yakni: konflik – konfrontasi.
Di Indonesia, sejak orde baru, serikat buruh dilumpuhkan dan dijinakkan sehingga tidak ada lagi yang menyuarakan penderitaan buruh yang dibayar sangat rendah dengan kondisi kerja yang memprihatinkan. Hal pertama yang dilakukan adalah pengorganisasian buruh dari pabrik ke pabrik di daerah Cimanggis – Jakarta Timur. Hal ini dilanjutkan dengan pergulatannya dengan persoalan buruh migran di tahun 1990 dan awal 2000 dengan persoalan konflik komunal di Kalimantan, Aceh, Poso, Maluku dan terakhir di Papua. PMK HKBP – Jakarta juga aktif sebagai anggota URM Indonesia yang dibentuk awal 1990 dan menjadi lead organization tahun 2004 – 2006. PMK HKBP –
Kejatuhan rezim Soeharto tahun 1998 telah membuka ruang demokrasi dan partisipasi rakyat lebih luas. Kekuasaan dan keuangan telah dibagi ke daerah melalui peraturan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah. Presiden dan parlemen pun dipilih langsung oleh rakyat. Ruang yang terbuka ini juga membuat Timor Leste lepas dari
Organisasi buruh tidak tunggal lagi, namun bertumbuh seperti jamur di musim hujan, termasuk partai politik yang tidak hanya tiga saja. Empat presiden yang lahir di era reformasi telah menghadirkan beberapa perubahan di masa transisi menuju demokrasi seperti perang terhadap kolusi, korupsi dan nepotisme, perang terhadap terorisme, penyelesaian konflik, penyelesaian konflik di berbagai daerah dan ekonomi bangsa yang perlahan mulai bangkit dari keterpurukan krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan krisis ekonomi dunia tahun 2008.
Namun kelemahan masih nampak karena pemerintahan yang terbentuk masih dikuasai para petualang politik dan etis. Partai politik belum menjadi organisasi yang memperjuangkan kepentingan konstituennya. Kepentingan pribadi dan partai masih menjadi dominasi terbesar sementara rakyat masih menjadi penonton di daerah. Ruang protes telah dimanfaatkan dengan baik oleh rakyat namun mereka masih menjadi objek dari politik itu sendiri. Persoalan mafia peradilan berkejar-kejaran dengan bencana gempa bumi, banjir, longsor, penyakit, pemanasan global yang menjadi tantangan bagi bangsa ini mengejar ketertinggalannya.
Perjalanan 27 tahun bersama buruh, petani, nelayan dan sejumlah masyarakat perkotaan, PMK HKBP – Jakarta telah menyelenggarakan pelayanan di berbagai bidang yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat seperti penelitian yang mendukung upaya perbaikan kualitas hidup buruh, memfasilitasi buruh di bidang pendidikan, penyadaran dan pengorganisasian, kampanye dan advokasi di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. Atas pemintaan komunitas rakyat, PMK HKBP –
Pengalaman panjang PMK HKBP – Jakarta melalui pendekatan program, (1) Pengorganisasian Rakyat: buruh, petani, nelayan, rakyat di daerah konflik yakni Kalimantan, Ambon/Poso, Aceh dan Papua, (2) Pendidikan Popular, (3) Penyadaran Hukum dan Advokasi, (4) Riset dan Publikasi, (5) Pengembangan Jaringan Kerja Nasional dan Internasional, serta (6) Kampanye kasus-kasus buruh di tingkat internasional; ikut mendorong lahirnya kelompok-kelompok rakyat independen dan sejumlah pemimpin lokal yang berpihak, yang pada gilirannya memampukan rakyat mengatasi kemiskinannya dan meningkatkan kehidupan dan martabatnya.
Wilayah pengembangan program PMK HKBP – Jakarta di periode proyek 2006 – 2009, melalui divisi Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ), Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW) dan Community Empowerment Desk (CED) antara lain:
PBJ:
- Tangerang, Balaraja dan Serang (Provinsi Banten)
- KBN Cakung (DKI Jakarta)
- Sukabumi, Bogor dan Bekasi (Jawa Barat)
- Biak, Batam dan Manado (Jaringan Kerja Buruh di Banten)
CIMW:
- Indramayu, Sukabumi, Karawang (Jawa Barat)
- Kampung Bom dan Lontar (Provinsi Banten)
- Tanjung Tiram dan Pantai Labu, Medan (SUMUT)
- Manado (Jaringan Buruh Migran di daerah)
- Malaysia, Korea (Jaringan Buruh Migran Luar Negeri)
Community Empowerment Desk (CED):
- Sumatera Utara (Petani tak bertanah, nelayan dan buruh migran)
- Papua
- Aceh
- Jaringan Gereja
Berangkat dari hasil evaluasi 2010, dan akan berakhirnya periode proyek yang didukung BfDW-Jerman pada Desember 2010, maka perlu bagi PMK HKBP – Jakarta melaksanakan Rencana Strategis (Renstra) untuk program sepuluh tahun ke depan, yang bertujuan:
- Mendiskusikan hasil evaluasi PMK HKBP – Jakarta 2006 – 2008
- Meningkatkan kualitas program dan strategi pencapaian program 2011 – 2021
- Meningkatkan dan memampukan pemahaman bersama bagi pelaksana program, mitra program, dan kelompok pendukung tentang rencana strategis program PMK HKBP – Jakarta 2011 – 2021
Berdasarkan rencana strategis tersebut terumuskan re-visi dan re- misi, tujuan, strategi program, program, PME dan penganggaran PMK HKBP – Jakarta untuk 2010 - 2013 – 2021 berikut ini.
VISI
Visi Teologis:
Damai sejahtera Allah (shalom) terwujud melalui kebenaran, keadilan, bela rasa, damai, solidaritas antar manusia, kesejahteraaan dan pemeliharaan bagi ciptaan.
Visi:
Inilah visi harapan kami:
Buruh mendapatkan gaji yang cukup untuk hidup, pekerjaan yang layak, serta pembagian yang adil dari buah-buah karya mereka.
Petani memiliki tanah tempat mereka bertani dan bisa menghasilkan makanan yang cukup menafkahi keluarga dan komunitas mereka.
Hak-hak buruh migran dilindungi dan usaha mereka benar-benar memberikan alternatif nyata dengan meninggalkan komunitas mereka demi bekerja di luar negeri.
Nelayan tradisional mendapatkan kawasan berkarya, mengembangkan kemampuan untuk hidup layak dan merawat kelestarian alam.
Hak-hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri diakui.
Rakyat miskin
Organisasi-organisasi rakyat serta komunitas-komunitas lokal berpartisipasi secara efektif membangun bangsa
MISI
PMK memperkuat rakyat dan komunitas untuk memperjuangkan hak-hak dan martabat mereka serta bersama mereka berjuang sebagai rekan yang setia.
PMK membantu membangun kapasitas gereja-gereja memenuhi misi mereka melayani rakyat dan jemaat serta membangun teologi dan spiritualitas rakyat.
TUJUAN
a. BURUH: Terbentuknya Serikat Buruh yang kuat, mandiri dan demokratis di setiap perusahaan di wilayah-wilayah dampingan, yaitu: SUKABUMI, BANTEN, JAKARTA dan BOGOR
b. URBAN POOR: Memperkuat rakyat miskin kota (anak jalanan, gelandangan, korban gusuran, pedagang kaki lima, sopir angkutan umum dan komunitas mereka) se-Jabodetabek
c. BURUH MIGRAN: Mendorong komunitas asal BMI di daerah kantong-kantong buruh migran (petani dan nelayan) untuk:
1. Membentuk organisasi-organisasi lokal serta berjaringan satu sama lain
2. Berdaulat secara ekonomi dengan memanafatkan sumber daya lokal serta akses remitansi TKI dari pemerintah melalui usaha-usaha kerakyatan
3. Memperjuangkan hak-hak BMI dan komunitas untuk keadian dan kesejahteraan
d. PETANI
v Tercapainya kedaulatan pangan.
v Memperkuat organisasi petani untuk melaksanakan Pembaruan Agraria sehingga mampu melaksanakan distribusi tanah perkebunan dan tanah yang dikuasai negara menjadi tanah rakyat.
v Memperkuat jaringan organisasi petani nsaional sehingga mampu merebut tanah perkebunan kolonial menjadi perkebunan rakyat.
e. RAKYAT ACEH: Memperkuat rakyat Aceh menciptakan pemerintahan sendiri
f. PAPUA: Memampukan Rakyat Papua memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan
g. GEREJA:
- Memperluas kemitraan dengan gereja-gereja di dalam dan di luar negeri
- PMK HKBP menjadi training center untk memperlengkapi para pekerja gereja
PROGRAM STRATEGIS
a. Buruh:
• Melakukan penyadaran secara berlanjut akan pentingnya organisasi buruh yang independen.
• Memperkuat aliansi jaringan lokal dan mendorong solidaritas internasional
• Membentuk jaringan aliansi industri dan pemerintah.
• Memperkuat aliansi Advokasi lokal dan nasional.
b. Buruh Migran
· Memperkuat organisasi BMI di Indramayu,
· Berdaulat secara ekonomi dengan memanfaatkan dan mengakses sumber daya local serta akses remitansi BMI dari pemerintah melalui usaha – usaha kerakyatan.
· Memperjuangkan dan terlibat dalam membuat kebijakan hak – hak BMI dan komunitas untuk keadilan dan kesejahteraan.
c. Petani
· Mendorong terbentuknya organisasi petani yang kuat dan demokratis memperkuat yang sudah ada.
· Memperkuat Front Pembaruan Agraria di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara
· Memampukan Organisasi Petani mengakses informasi, bantuan dan ketrampilan dari Institusi KPA maupun pemerintah.
· Leadership Formation
· Organizing
· Popular Education
d. Rakyat Aceh
Memperkuat rakyat Aceh membentuk pemerintahan yang demokratis
e. Rakyat Papua
Memampukan Rakyat Papua memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan
f. Gereja
· Mengkonkritkan format kerjasama dengan gereja-gereja
· Mengkomunikasikan program PMK kepada gereja-gereja
· Memperbaiki manajemen organisasi (keu dan staf)
g. Urban Poor
· Pengorganisasian
· Penguatan dan Penyadaran
· Memperkuat Jaringan
· Merangkul tokoh agama dan masyarakat