Kunjungan Monitoring Buruh Migran Indonesia
Di Sabah
Boni Sagi, staf Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW) berkesempatan melakukan kunjungan monitoring Buruh Migran Indonesia (BMI) di Sabah pada 8 – 20 Agustus 2009. Kunjungan ini terlaksana berkat kerjasama dengan Dioses Sandakan, paroki St. Dominic Lahad Datu, paroki Holy Trinity Tawau serta Susteran Putri Reinha Rosari (PRR) di Nunukan.
Empat hari di ‘Land Below the Wind’ (8-12/8/’09)
Menurut John Baptis, Ketua Majelis Paroki Katedral st. Mary-Sandakan, Land Below the Wind adalah julukan kota Sandakan sebagaimana diberi oleh Agnes Keith, sastrawan Inggris. Kota Sandakan memang cantik, apalagi jika ditengok dari kejauhan Tepekong besar di atas puncak bukit. Selain cantik, Sandakan juga sedang membangun dan berbenah diri. Julukan lain ‘the little Hong Kong’ masih menyisakan jejak-jejaknya. Barangkali dengan sejarah ini, bisa dipahami, Sandakan adalah ’kota multikultural’. Orang berkewarganegaraan Indonesia banyak dijumpai di sana terutama dari Indonesia timur (Adonara, Larantuka, Lembata, Solor, Ende, Manggarai).
Pertemuan dengan Komiti Keluarga Besar Katolik Indonesia (KKBKI) paroki St. Mark pada Minggu (9/8), mempertegas hal ini. Puluhan TKI dengan anak-anak mereka menghadiri pertemuan. Menurut Petrus Bala Bean (Ketua KKBKI), organisasi ini telah diresmikan pastor paroki pada 12 Juli 2009. Dialog terbuka siang hari itu mengidentifikasi tiga persoalan pokok yang dihadapi TKI di sana, sebagaimana dicatat oleh Frans Hayon (Sekretaris KKBKI). Tiga persoalan itu adalah: soal pasport/IC yang sampai saat ini belum diterima TKI sejak pemutihan setahun silam; soal pendidikan anak-anak yang tidak bisa bersekolah di sekolah Kerajaan Malaysia; dan soal gaji yang tidak sesuai dengan kontrak dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kunjungan lapangan dan pertemuan dengan TKI di Batu 8, Gum Gum Manis, Taman Buaya dan Batu 16, memperkuat identifikasi persoalan TKI di sana. Di Batu 16 banyak anak yang tidak bersekolah. Dan berangkat dari keprihatinan itu, ibu Emiliana, jemaat gereja st. Mark, merelakan waktu senggangnya mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Gereja st. Mark bersama KKBKI juga membuka sekolah minggu yang juga mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Seorang bapak, pada pertemuan di Batu 16 mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dasarnya serta keluarga dengan gaji kurang lebih 12 RM sehari. Dan hal itu menjadi semakin berat, karena uang jaminan pasport juga mencekik.
Pada Selasa (11/8/’09) sore, CIMW bersama mama Margaretha Francis (bendahara KKBKI gereja st. Mark) dan Joseph Sudirman (dari Manggarai-Flores), berkesempatan berjumpa dengan Mgr. Julius Gitom (Uskup Sandakan). Mgr. Yulius sangat terbuka dengan kunjungan-kunjungan seperti ini, tidak hanya dari kalangan Katolik, tapi dari kalangan mana saja. Beliau mengatakan bahwa persoalan buruh migran adalah persoalan yang sangat kompleks dan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk Ornop/NGO. Mgr. Yulius juga menceriterakan pengalamannya semasa Padre dan melayani di ladang-ladang (kamp). Ia menyatakan keprihatinannya atas kondisi kerja para buruh migran di ladang-ladang, serta gaji buruh yang hanya 10 RM/hari. Menurut Bishop, hal seperti ini sudah merupakan bentuk eksploitasi. Untuk urusan Gereja pun, persoalan buruh migran kadang rumit, terutama berkaitan dengan pembaptisan dan pernikahan. Ada pekerja migran yang di kampung halamannya sudah memiliki suami/istri; dan ketika dia merantau mendapatkan suami/istri baru. Hal ini membuat status perkawinan mereka bermasalah, demikian pun status anak-anak yang dilahirkan dari pasangan seperti ini. Ketika disinggung, apakah mungkin keuskupan membentuk divisi pastoral khusus untuk pekerja migran, Uskup Yulius mengatakan itu merupakan ide yang baik. Hanya saat ini belum terlaksana karena sedikitnya sumber daya keuskupan. Keuskupan Sandakan baru dua tahun berdiri, dan masih banyak hal yang harus dikerjakan. Demikianpun soal kerjasama dengan keuskupan-keuskupan di Indonesia yang banyak jemaatnya merantau ke sana adalah ide yang baik, tapi membutuhkan waktu untuk merealisasikannya. Dengan latar belakang ini, menurut Bishop kehadiran pihak-pihak lain yang prihatin dengan berbagai segi persoalan pekerja migran ini dipandang sebagai hal yang positif. Uskup Yulius berharap pemerintah Indonesia dan Kerajaan Malaysia bisa lebih intens membicarakan persoalan kemanusiaan pekerja migran dan menemukan solusi-solusi yang baik.
Empat hari di Lahad Datu (12-16/8/’09)
Keterlibatan Komuniti Kristian Dasar (KKD) sangat membantu dalam kunjungan selama empat hari di Lahad Datu. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari koordinasi Ft. Simon Kontou dan Ft. Jasery Gabuk (pastor paroki st. Dominic), serta pak Petrus dan pak Sipri dari Keluarga Pastoral Indonesia (KPI).
Pertemuan singkat dengan jemaat KKD Wawasan kembali mendiskusikan soal pasport buku yang sampai saat ini belum diterima setelah pemutihan setahun silam, padahal mereka sudah membayar sampai Rp 3 juta . Anak-anak yang tidak sekolah juga menjadi keprihatinan bersama di sini, juga berkaitan dengan kecilnya gaji yang mereka terima dibandingkan dengan kebutuhan hidup setiap hari.
Dalam sharing dengan Ft. Simon dan Ft. Jasery, dikemukakan bahwa persoalan dokumen adalah persoalan utama yang menyebabkan masalah-masalah lain baik dengan Kerajaan Malaysia maupun dengan gereja. Diharapkan keberadaan KPI turut membantu menemukan jalan keluar dari berbagai persoalan yang dihadapi pekerja migran Indonesia di sana.
Kunjungan ke sekolah Humana di Dam Road no. 86 yang menampung anak-anak para migran yang tidak bisa bersekolah di sekolah-sekolah Kerajaan menegaskan kehadiran pengharapan dan inisiatif positif di tengah situasi ketidakpastian, walaupun ala kadarnya. Di sekolah Humana yang dikunjungi, terdapat 420 anak yang dilayani ”hanya” oleh 3 guru.
Pertemuan dengan KKD Dam yang dihadiri oleh kurang lebih 25 jemaat (kebanyakan dari Larantuka dan Adonara) mengingatkan pentingnya persaudaraan dan solidaritas di tanah rantau. Selain saling menguatkan satu sama lain juga didiskusikan persoalan-persoalan bersama. Antara lain berkaitan dengan perbedaan gaji, dan juga perbedaan pelayanan di tempat publik (seperti di rumah sakit) antara yang hanya berpasport dengan yang memiliki IC. Menurut mereka gaji yang ber-IC lebih tinggi dari pada yang hanya berpasport, demikian pula pelayanan di rumah sakit, yang ber-IC didahulukan dan lebih murah dibandingkan dengan yang hanya berpasport. Dari persoalan-persoalan yang didiskusikan bersama, kita sepakat bahwa persoalan kemanusiaan seharusnya menjadi tolok ukur dalam mengambil kebijakan dan tindakan.
Pertemuan dengan belasan ibu di KKD Kampung Damai yang berasal dari Flores, Lembata, Solor dan dari Toraja serta beberapa anak kecil yang tidak bersekolah menampakan optimisme dan harapan hidup yang terpancar dari kaum ibu sekaligus keprihatinan untuk anak-anak cucu mereka yang tidak mendapat kesempatan bersekolah. Sama halnya dengan ibu Emiliana di Sandakan, ibu Dora di Kampung Damai pun memanfaatkan waktu luangnya secara sukarela mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Namun ibu Dora mengalami kesulitan fasilitas Alat Tulis Kantor (ATK) untuk anak-anak ini. Ia berharap ada pihak yang mau membantu dia dalam penyediaan buku-buku dan alat-alat tulis bagi anak-anak ini.
Perjumpaan dengan ibu Martina, pak Jeffrey dan pak Johny dari Komite Keluarga Toraja, mengingatkan pentingnya solidaritas lintas suku dalam mengatasi persoalan-persoalan bersama, sambil menyisakan harapan semoga pemerintah Indonesia ”lebih bijak dan berperhatian serius” dengan pahlawan devisanya.
Sharing bersama 20-an jemaat dari berbagai KKD di gereja San Dominic Lahad Datu menutup kebersamaan selama beberapa hari di Lahad Datu. Ada harapan ke depan, kebersamaan dan solidaritas bisa ditingkatkan demi kebaikan bersama.
Empat hari di Tawau dan Nunukan (16-20/8/’09)
Di Tawau, pak Gabriel Nunang sebagai ketua Keluarga Indonesia paroki Holy Trinity menjadi organiser lapangan. Hari pertama, CIMW berjumpa dengan 50-an jemaat basis Batu Lapan yang sebagian besar adalah pekerja Indonesia dengan anak-anak mereka. Sebenarnya jemaat ini sedang akan mengikuti ibadat mingguan. Tapi kami menggunakan waktu satu jam sebelumnya untuk berdiskusi bersama. Banyak hal yang dibicarakan, terutama berkaitan dengan pasport/IC dan juga tentang sekolah anak-anak mereka yang tidak jelas. Di jemaat itu ada sekolah alternatif yang didukung paroki Holy Trinity bagi anak-anak yang tidak bersekolah di sekolah formal untuk membaca, menulis dan mengira dasar. Dari sana kita ke rumah keluarga ibu Ros yang berasal dari Lembata. Rencananya kita akan berdoa bersama memperingati keluarga-keluarga bu Ros yang sudah meninggal. Di tempat bu Ros kita berjumpa 20-an orang Lembata, Adonara, Kupang dan Rote. Dalam acara keluarga ini, saya banyak mendengar tentang suka duka kehidupan di negeri jiran ini.
Perjumpaan dengan puluhan saudara-saudari dari timur Indonesia pada acara perayaan ulang tahun perkawinan pak Gabriel dan keluarga memberi inspirasi tentang merayakan kehidupan di mana pun kita berada. Solidaritas dan kebersamaan menjadi semakin penting di tanah rantau. Dan kebersamaan dan solidaritas itu menjadi semakin bermakna ketika itu dipakai untuk membantu satu sama lain keluar dari persoalan bersama. Sebuah pertanyaan yang muncul dari pekerja migran Indonesia di sana adalah: mengapa biaya pembuatan paspor di Nunukan jauh lebih mahal dibandingkan jika paspor dibuat di Tawau? Ada keinginan dari saudara-saudari di sana untuk bisa bertemu muka langsung dengan Konsul ataupun pejabat-pejabat lain yang berkaitan dengan nasib mereka di tanah rantau, karena ada banyak hal yang ingin mereka sampaikan. Semoga ke depan apa yang diinginkan saudara-saudari ini bisa terwujud.
Adalah kabar baik berjumpa dengan sr. Silvia, Prr, cs dengan komunitas PRR di sekolahan Fransisko-Yashinta - Nunukan. Juga dengan Pastor Dwija Iswara, MSF dan bapak M. Vincentius dari Komisi Pastoral Migran Perantau Keuskupan Tanjung Selor. Percakapan-percakapan dengan beliau dan juga kunjungan-kunjungan lapangan yang dibuat bersama, a.l. ke bekas penampungan TKI yang dideportasi dan juga ke asrama sekolahan anak-anak TKI Fransisko-Yahinta, menegaskan betapa kompleksnya permasalahan TKI. Karena itu pemerintah Indonesia harus benar-benar serius menangani persoalan TKI ini. Jangan sampai istilah ”orang Indonesia menjual kepala orang Indonesia sendiri” sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Dwija, terus dilanjutkan. Tentu saja gereja atau pihak-pihak lain pun, termasuk Ornop/NGO, juga mesti mengambil bagian sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan jauh lebih penting dari itu, diharapkan rakyat mampu mengurus dirinya sendiri.
Catatan Akhir
Melihat kompleksnya persoalan-persoalan yang dihadapi pekerja migran (Indonesia) dibutuhkan visi baru (baik dari negara pengirim maupun dari penerima) untuk mendukung kebijakan-kebijakan baru yang benar-benar merupakan artikulasi dari persoalan etis kemanusiaan. Hanya jika bertolak dari itu, perubahan sejati baru dapat terwujud. Perubahan yang berpihak pada keadilan dan partisipasi aktif dari setiap orang. Dan buahnya adalah pulihnya martabat kehidupan serta terwujudnya perdamaian. Perjalanan ini adalah bagian dari pengartikulasian ini. Terima kasih untuk semua pihak yang sudah dengan caranya sendiri membantu saya Melihat, Mendengar, Merasakan dan Mencatat (4M) terutama berhubungan dengan isu-isu pekerja migran (Indonesia) dalam lawatan ini.***(Boni Sagi)
Senin, 02 Agustus 2010
Isu Pelayanan Buruh Jakarta
Decent Wage Campaign
(Kampanye Upah Layak)
Jakarta - Kegiatan forum diskusi “Tolak Upah Rendah” diikuti oleh 21 elemen serikat buruh, berhasil membentuk kelompok “Solidaritas Nasional Tolak Upah Rendah”. Pertemuan difasilitasi oleh Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ) di kantor PMK HKBP-Jakarta, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Wakil Serikat Buruh yang tergabung dalam forum ini berasal dari sektor industri sepatu dan apparel di wilayah Banten, Jakarta, Bogor, Cikarang – Bekasi dan Sukabumi.
Dua kali diskusi yaitu pada 20 Februari dan 11 Maret 2009 menyepakati bahwa anggota harus meyakinkan serikat pekerja masing-masing untuk bersatu dan mendukung gerakan menggempur sistem pengupahan yang belum berpihak pada buruh. Juga terbentuk tim kerja berdasarkan wilayah kerja, yaitu: Cakung, Banten I, Banten II, Sukabumi, Citeureup dan Cikarang serta satu tim pendukung yang menyusun rencana kerja tim besar. Tujuannya adalah penguatan buruh di tingkat basis (PUK), survei penentuan upah tingkat lokal, dan advokasi terhadap pelanggaran upah.
Penetapan UMK (naik dan turunnya) sebagai jaring pengaman justru tidak ada relevansinya. Seperti diketahui, Serikat Pekerja (SP) dan Apindo hanya mengatur draft pengupahan, pemerintah-lah yang menetapkan hasilnya. Yang diuntungkan adalah dewan pengupahan. Upah menurut Pasal 1 Ayat 30 UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atas jasa yang telah atau akan dilakukan.
Meskipun Indonesia terkena dampak krisis global dan gelombang PHK terjadi di mana-mana, buruh tetap memperjuangkan upah layak (decent wage campaign). Resesi di Amerika dan Eropa tidak dapat dijadikan alasan memberikan upah rendah bagi buruh.
(Ad)
(Kampanye Upah Layak)
Jakarta - Kegiatan forum diskusi “Tolak Upah Rendah” diikuti oleh 21 elemen serikat buruh, berhasil membentuk kelompok “Solidaritas Nasional Tolak Upah Rendah”. Pertemuan difasilitasi oleh Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ) di kantor PMK HKBP-Jakarta, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Wakil Serikat Buruh yang tergabung dalam forum ini berasal dari sektor industri sepatu dan apparel di wilayah Banten, Jakarta, Bogor, Cikarang – Bekasi dan Sukabumi.
Dua kali diskusi yaitu pada 20 Februari dan 11 Maret 2009 menyepakati bahwa anggota harus meyakinkan serikat pekerja masing-masing untuk bersatu dan mendukung gerakan menggempur sistem pengupahan yang belum berpihak pada buruh. Juga terbentuk tim kerja berdasarkan wilayah kerja, yaitu: Cakung, Banten I, Banten II, Sukabumi, Citeureup dan Cikarang serta satu tim pendukung yang menyusun rencana kerja tim besar. Tujuannya adalah penguatan buruh di tingkat basis (PUK), survei penentuan upah tingkat lokal, dan advokasi terhadap pelanggaran upah.
Penetapan UMK (naik dan turunnya) sebagai jaring pengaman justru tidak ada relevansinya. Seperti diketahui, Serikat Pekerja (SP) dan Apindo hanya mengatur draft pengupahan, pemerintah-lah yang menetapkan hasilnya. Yang diuntungkan adalah dewan pengupahan. Upah menurut Pasal 1 Ayat 30 UU 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atas jasa yang telah atau akan dilakukan.
Meskipun Indonesia terkena dampak krisis global dan gelombang PHK terjadi di mana-mana, buruh tetap memperjuangkan upah layak (decent wage campaign). Resesi di Amerika dan Eropa tidak dapat dijadikan alasan memberikan upah rendah bagi buruh.
(Ad)
Warta-Warta
Andaikan Tak Ada Pesta Natal
Lebih baik berusahalah supaya keadilan mengalir seperti air dan kejujuran seperti sungai yang tak pernah kering (Amos 54:21–24)
Oleh krisis global yang melanda dunia saat ini, rakyat Indonesia semakin sengsara. Harga produk pertanian merayap, padahal pupuk mahal, bahkan jadi ajang perselingkuhan pejabat dengan distributor yang tentu mencekik petani. Bayangkan bagaimana nasib petani tak bertanah? Padahal pemerintah menjagokan program ”Ketahanan Pangan”.
Di sektor industri, bencana tengah menggempur industri tekstil. Permintaan dari Amerika dan Eropa menurun 30-40 %, sekitar 100 ribu dari 1,2 juta buruh di sektor ini akan dirumahkan dan tahun 2009, konon 50% buruh Indonesia atau sekitar 45,5 juta
orang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Akan halnya, Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) alias buruh migran lebih menyedihkan lagi. Gelombang PHK telah dimulai di Hongkong, Taiwan, Korea, menyusul Singapura dan Malaysia. Itulah kutuk neoliberalisme yang menjagokan keperkasaan pasar bebas. Jadi kata kunci adalah: jatuh. Rupiah jatuh, sawit, karet, minyak jatuh. Padi, apalagi dilibas banjir, jatuh. Jagung bibit unggul karena tak ada pupuk jatuh. Alhasil, sokoguru bangsa: petani, buruh dan nelayan (yang tak bisa beli solar mahal), berguguran bagai daun kering terjerembab tak berdaya di tanah tandus. Jatuh sudah. Ajaib memang, pemerintah tak jatuh-jatuh, padahal Semakin Banyak Yang Jadi Korban.
Maka Sempurnalah Penderitaan Rakyat …
Kendati penderitaan rakyat semakin sempurna, renovasi gedung DPR dan rumah pejabat di pusat dan daerah jalan terus. Mobil mewah laku terus. Di sebuah kabupaten di timur nusantara, mobil Rangers Double Cabin, jadi angkutan lapangan eksekutif dan legislatif. Di kelas ini, rasa-rasanya tak ada krisis. Untuk apa pusing-pusing memikirkan rakyat yang selalu diguncang pertanyaan: apa bisa makan hari ini?
Bagi para birokrat, anggota DPR/DPRD, pimpinan parpol dan sebangsanya pertanyaan itu berubah: makan di mana hari ini? Yang serem para investor rakus: makan siapa hari ini? Jadi, sempurnalah penderitaan rakyatmu, tuan dan nyonya besar…
Suara Nabi di Tengah Gurun
Di tengah gurun ketidakadilan ini, di kubangan penderitaan rakyat, umat rindu suara nabi. Kutipan teks dari Nabi Amos di awal tadi kurang digunakan birokrat gereja, namun sungguh popular di kalangan umat yang sengsara. Amos, nabi pertama dalam Alkitab, yang pesannya dicatat secara terperinci. Ia mengritik pejabat kerajaan dan pemuka agama Yahudi yang tak peka atas ketidakadilan. Ia membentak bangsa yang menjadikan ibadah sebagai perayaan-perayaan atau pesta semata tanpa kepedulian atas nasib rakyat. Ibadah seperti itu kata Amos, bakal ditolak Tuhan. Allah, tutur Amos, menghendaki keadilan bergulung-gulung seperti air.
Dari Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja se Dunia (DGD-WCC) di Porto Alegre, Brazil, 2006, terbit sebuah dokumen latar belakang yang “menghardik” globalisasi ekonomi yang menjujung neoliberalisme, ekonomi pasar bebas. Dokumen itu berjudul Alternative Globalization Addressing People and Earth. Akronimnya adalah AGAPE, kata dari bahasa Yunani yang berarti Kasih. Dokumen ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia di bawah judul, “Globalisasi Alternatif mengutamakan Rakyat dan Bumi.” Diktum neoliberalisme menurut dokumen ini, “pada dasarnya neoliberalisme mengubah segala sesuatu dan manusia menjadi komoditi. “
Penguasaan neoliberalisme terhadap kekayaan material yang melebihi penghargaan akan harkat dan martabat manusia, membuat manusia diperlakukan tidak selayaknya, mengorbankan kehidupan manusia dan alam demi ketamakan. Buahnya adalah ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, kelaparan, pengangguran yang melanda bagian terbesar penduduk dunia dan berakibat kepada kematian. Seiring dengan itu masalah-masalah lingkungan hidup semakin meruyak: pemanasan global, penipisan sumber daya alam, terbentuknya gurun hijau (perkebunan sawit yang terlantar karena sawit jatuh) serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Di sisi itu, pemerintah dan pengusaha kita adalah birokrat dan kapitalis yang menjadi agen neoliberalisme atau neolib itu. Ada bangunan yang seragam dari Banda Aceh sampai Jayapura sebagai wajah gemilang neolib: mal, ruko dan Swiss Bell Hotel …
Keberanian Melawan Arus
Bagaimana tanggapan gereja-gereja di Indonesia terhadap situasi ini? Pada 1-5 Desember 2008 di Wisma Samadi, Klender, Jakarta, 80 orang pimpinan gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), utusan kaum perempuan dan pemuda, para pelaku ekonomi, politik dan budaya, yang prihatin atas situasi itu terlibat dalam konsultasi Nasional Gereja dan Ágape.
Tema Konsultasi, “Tuhan, dalam Rahmat-Mu, Ubahlah Dunia”, dengan subtema, “ AGAPE dari Deklarasi Menjadi Aksi”.
Presiden DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia), Pdt. Dr. SAE Nababan, dalam renungan pada pembukaan konsultasi mengritik gereja yang tidak peduli terhadap ketidakadilan yang berlangsung di tengah masyarakat. Ia menguraikan, ada tiga penyebab sikap ketidakpedulian itu, (1) pengejaran keselamatan jiwa (kesalehan pribadi sebagai warisan pietisme), (2) kuasa tradisi gereja yang membentuk pola pikir dan pola hidup manusia, yang hampir bersifat mutlak, dan (3) keterbatasan pergumulan yang terus-menerus dengan Firman Tuhan di tengah perjalanan hidup. Karena ketidakpedulian ini, kita cenderung menjauhkan diri dari ketidakadilan yang mendera rakyat, tidak berani bersama rakyat menghadapinya dan secara tegas memberitakan, mengusahakan dan menegakkan keadilan bagi semua orang, sebagai kehendak Allah.
Dr. Nababan menegaskan, kerinduan mendalam setiap manusia dan setiap komunitas manusia bahkan setiap bangsa adalah memperoleh keadilan dan perdamaian.
Karena hanya dengan adanya keadilan dan perdamaian, kehidupan manusia dapat berkembang sejahtera. “Keduanya tak terpisahkan”, ujarnya. Ia menyatakan kegembiraannya dengan kehadiran peserta konsultasi, walau hanya kelompok kecil. Namun kelompok yang peduli, dan di hadapan Tuhan, kelompok-kelompok kecil ini juga mewakili gereja. Kehadiran dalam konsultasi ini, menurut Nababan, adalah keberanian melawan arus, pada saat kebanyakan orang terpukau, terlena bahkan terbenam arus globalisasi.
Melalui diskusi, penggalian pengalaman, analisis sosial, Ibadah, refleksi teologis, peserta bergumul, menafsirkan ulang teks Alkitab sesuai dengan konteks, membaca kembali secara kritis. Kesadaran yang muncul adalah, gereja sejatinya menjadi komunitas yang transformatif dengan mengembangkan teologi yang berpihak kepada rakyat dan bumi. Untuk itu perlu upaya terus-menerus memampukan gereja menjadi gerakan ketimbang institusi yang berpihak kepada rakyat dan bumi.
Andaikan Tak Ada Pesta Natal
Konsultasi tak bermakna bila tak disusul aksi. Tentu, gereja-gereja atau komunitas Kristiani di negeri ini mampu merumuskan aksi sesuai konteks masing-masing. Kendati begitu, ada sesuatu yang sangat konkret yang dapat dilakukan bersama-sama, kalau mau.
Di pekan-pekan advent, menyongsong natal ini, sebaiknya kita membebaskan diri dari jerat neolib. Misalnya, tak perlu membeli pohon natal serta segala perniknya di mal-mal. Yesus yang lahir dalam kemiskinan kenapa mesti dirayakan dalam kegemerlapan? Kita toh bisa meracik sendiri tema natal dan segala perniknya di rumah kita dengan apa yang ada pada kita. Ada kembang, ada pohon hidup di rumah, dan terutama mempersiapkan hati yang penuh shalom (damai sejahtera).
Pesta Santa Claus atau sinterklas itu sihir neolib, boikot saja. Tak ada gunanya buat kita. Dan coba Anda hitung ongkos pesta natal di negeri ini secara total. Konon orang Kristen anggota jemaat gereja-gereja anggota PGI yang ada 87 sinode itu sekitar 10 juta. Kita hitung secara sederhana, ada sekitar 20 ribu komunitas atau jemaat yang masing-masing 500 orang anggotanya. Biasanya pesta natal setiap jemaat paling sedikit Rp 20 juta misalnya. Berapa uang terkumpul setiap pesta natal? Tak kurang dari Rp 400.000.000.000 (400 milyar rupiah).
Belum lagi natal marga, keluarga, polisi, DPR/D, Parpol, dan seterusnya dan seterusnya. Berapa trilyun uang yang dibuang sia-sia untuk pesta, yang menurut nabi Amos, tak disukai Tuhan? Berapa sekolah dan rumah sakit untuk rakyat bisa dibangun?
Andaikan gereja-gereja bersatu mengembalikan pesta natal kepada situasi natal yang pertama, kita tidak perlu berpesta di tengah semakin sempurnanya penderitaan petani, nelayan dan buruh. Dan kita akan mampu mengatasi neolib …
LOKAKARYA PENGUATAN ORGANISASI RAKYAT PAPUA DI BINTUNI
Agar Korban Mampu Melawan Ketidakadilan, 18 perempuan dan laki-laki warga Kelompok Teluk Bintuni, Propinsi Papua Barat, terdiri atas koordinator suku, pemimpin adat, pekerja gereja, tokoh perempuan dan pemuda, berkumpul di Gereja Sion Sibena GKI di Tanah Papua Klasis Bintuni, menggumuli persoalan; bagaimana memperkuat organisasi rakyat Papua. Kegiatan Lokakarya Penguatan Organisasi Rakyat Papua, diselenggarakan oleh PMK HKBP Jakarta, bekerjasama dengan Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI- TP) yang berlangsung pada 22-25 November 2008.
Kabupaten Teluk Bintuni boleh jadi salah satu kawasan di Tanah Papua yang memperlihatkan acara terang cengkeraman globalisasi ekonomi pasar bebas; kehadiran pertambangan batu bara minyak, pabrik kayu lapis, serta yang paling mutakhir tambang gas alam BP Tangguh. Semua ini berakibat kepada semakin rusaknya hutan hujan tropis serta tergusurnya rakyat Papua. Kekayaan alam yang disedot dari Teluk Bintuni sebagian besar dinikmati pusat-pusat bisnis dan kekuasaan di Jakarta.
Jadi kalau ditanya kepada rakyat di Teluk BIntuni apa dampak globalisasi maka jawabnya tak jauh berbeda dengan peserta lokakarya ini : (1) Orang Papua terpinggirkan, (2) lingkungan hidup rusak, (3) mutu pendidikan rendah, (4) budaya Papua (bahasa, tarian, kearifan) rusak, (5)perempuan Papua sengsara.
Kendati begitu, ada juga catatan positif seperti tergali dalam diskusi dengan Pdt.Jaspert Slob perihal “Globalisasi dan Papuanisasi”. Yang positif dari globalisasi berkaitan dengan semakin berkembangnya demokratisasi,pengetahuan baru serta teknologi informasi. Peserta juga menganggap dengan bercermin dari dampak negatif, bisa melakukan introspeksi, bagaimana memperkuat diri sendiri.
Menurut Pdt. Slob, globalisasi harus diimbangi dengan penguatan rakyat Papua yang disebutnya Papuanisasi. Sekarang sudah banyak orang Papua menjadi aparat dan pejabat pemerintah. Bagaimana menyadarkan mereka agar tidak lepas dari akar budayanya sendiri dan berpihak kepada kepentingan rakyat Papua. Di sini, kalau rakyat Papua merasa selama ini jadi korban ketidakadilan, mesti memperkuat dirinya melalui organisasi rakyat yang demokratis untuk menegakkan keadilan dan perdamaian.
Indera Nababan mengajak peserta untuk mulai bertanya; apakah rakyat Bintuni, masyarakat tujuh suku, bisa mengorganisir diri, sungguh-sungguh bersatu untuk bisa menjadi pemenang? Bagaimana membuat agar organisasi rakyat disini benar-benar bersatu dan demokratis ? Apakah dengan Teluk Bintuni ini menjadi kabupaten, rakyat sudah sejahtera?
Nah, itu semua mesti diperjuangkan, kita harus memampukan organisasi-organisasi rakyat yang ada di sini, apakah itu organisasi adat, perempuan, pemuda,bahkan gereja, bersama-sama sadar kemudian membangun kekuatan untuk menegakkan keadilan. OR harus menunjukkan kekuatan rakyat untuk melakukan perubahan. Dengan mengorganisasikan dirinya, rakyat menuntut penghormatan dan penghargaan sebagai manusia yang memiliki harga diri. Organisasi rakyat berjuang untuk menegakkan martabat manusia. Jika itu terjadi, maka cita-cita rakyat bagi kehidupan yang sejahtera dapat diwujudkan, karena rakyat telah mampu mengurus dirinya sendiri.
Dalam kesempatan itu, Bupati Bintuni drs. Alfons Manibuy memberikan paparan ikhwal “Teluk Bintuni Hari Ini”.Ia gembira dengan lokakarya ini karena diharapkan oleh kesadaran baru, rakyat semakin mampu berpartisipasi di dalam proses pembangunan.
Alhasil lokakarya menurut peserta berhasil menyadarkan mereka untuk melakukan introspeksi tentang percepatan di antara rakyat Papua sendiri. Karena itu, mereka menyusun tindak lanjut antara lain:
(1) Membenahi struktur kelembagaan masyarakat adat mulai dari tingkat kampung, distrik hingga kabupaten,
(2)Perlindungan dan penguatan masyarakat adat dari basis masing-masing,
(3) Memberdayakan para perempuan Papua Teluk Bintuni untuk memperjuangkan hak-haknya.
(4) Membenahi organisasi pemuda Bintuni (IPTB= Ikatan Pemuda Teluk Bintuni) agar menjadi organisasi rakyat yang kuat dan demokratis.
Lebih baik berusahalah supaya keadilan mengalir seperti air dan kejujuran seperti sungai yang tak pernah kering (Amos 54:21–24)
Oleh krisis global yang melanda dunia saat ini, rakyat Indonesia semakin sengsara. Harga produk pertanian merayap, padahal pupuk mahal, bahkan jadi ajang perselingkuhan pejabat dengan distributor yang tentu mencekik petani. Bayangkan bagaimana nasib petani tak bertanah? Padahal pemerintah menjagokan program ”Ketahanan Pangan”.
Di sektor industri, bencana tengah menggempur industri tekstil. Permintaan dari Amerika dan Eropa menurun 30-40 %, sekitar 100 ribu dari 1,2 juta buruh di sektor ini akan dirumahkan dan tahun 2009, konon 50% buruh Indonesia atau sekitar 45,5 juta
orang terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Akan halnya, Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) alias buruh migran lebih menyedihkan lagi. Gelombang PHK telah dimulai di Hongkong, Taiwan, Korea, menyusul Singapura dan Malaysia. Itulah kutuk neoliberalisme yang menjagokan keperkasaan pasar bebas. Jadi kata kunci adalah: jatuh. Rupiah jatuh, sawit, karet, minyak jatuh. Padi, apalagi dilibas banjir, jatuh. Jagung bibit unggul karena tak ada pupuk jatuh. Alhasil, sokoguru bangsa: petani, buruh dan nelayan (yang tak bisa beli solar mahal), berguguran bagai daun kering terjerembab tak berdaya di tanah tandus. Jatuh sudah. Ajaib memang, pemerintah tak jatuh-jatuh, padahal Semakin Banyak Yang Jadi Korban.
Maka Sempurnalah Penderitaan Rakyat …
Kendati penderitaan rakyat semakin sempurna, renovasi gedung DPR dan rumah pejabat di pusat dan daerah jalan terus. Mobil mewah laku terus. Di sebuah kabupaten di timur nusantara, mobil Rangers Double Cabin, jadi angkutan lapangan eksekutif dan legislatif. Di kelas ini, rasa-rasanya tak ada krisis. Untuk apa pusing-pusing memikirkan rakyat yang selalu diguncang pertanyaan: apa bisa makan hari ini?
Bagi para birokrat, anggota DPR/DPRD, pimpinan parpol dan sebangsanya pertanyaan itu berubah: makan di mana hari ini? Yang serem para investor rakus: makan siapa hari ini? Jadi, sempurnalah penderitaan rakyatmu, tuan dan nyonya besar…
Suara Nabi di Tengah Gurun
Di tengah gurun ketidakadilan ini, di kubangan penderitaan rakyat, umat rindu suara nabi. Kutipan teks dari Nabi Amos di awal tadi kurang digunakan birokrat gereja, namun sungguh popular di kalangan umat yang sengsara. Amos, nabi pertama dalam Alkitab, yang pesannya dicatat secara terperinci. Ia mengritik pejabat kerajaan dan pemuka agama Yahudi yang tak peka atas ketidakadilan. Ia membentak bangsa yang menjadikan ibadah sebagai perayaan-perayaan atau pesta semata tanpa kepedulian atas nasib rakyat. Ibadah seperti itu kata Amos, bakal ditolak Tuhan. Allah, tutur Amos, menghendaki keadilan bergulung-gulung seperti air.
Dari Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja se Dunia (DGD-WCC) di Porto Alegre, Brazil, 2006, terbit sebuah dokumen latar belakang yang “menghardik” globalisasi ekonomi yang menjujung neoliberalisme, ekonomi pasar bebas. Dokumen itu berjudul Alternative Globalization Addressing People and Earth. Akronimnya adalah AGAPE, kata dari bahasa Yunani yang berarti Kasih. Dokumen ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia di bawah judul, “Globalisasi Alternatif mengutamakan Rakyat dan Bumi.” Diktum neoliberalisme menurut dokumen ini, “pada dasarnya neoliberalisme mengubah segala sesuatu dan manusia menjadi komoditi. “
Penguasaan neoliberalisme terhadap kekayaan material yang melebihi penghargaan akan harkat dan martabat manusia, membuat manusia diperlakukan tidak selayaknya, mengorbankan kehidupan manusia dan alam demi ketamakan. Buahnya adalah ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, kelaparan, pengangguran yang melanda bagian terbesar penduduk dunia dan berakibat kepada kematian. Seiring dengan itu masalah-masalah lingkungan hidup semakin meruyak: pemanasan global, penipisan sumber daya alam, terbentuknya gurun hijau (perkebunan sawit yang terlantar karena sawit jatuh) serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Di sisi itu, pemerintah dan pengusaha kita adalah birokrat dan kapitalis yang menjadi agen neoliberalisme atau neolib itu. Ada bangunan yang seragam dari Banda Aceh sampai Jayapura sebagai wajah gemilang neolib: mal, ruko dan Swiss Bell Hotel …
Keberanian Melawan Arus
Bagaimana tanggapan gereja-gereja di Indonesia terhadap situasi ini? Pada 1-5 Desember 2008 di Wisma Samadi, Klender, Jakarta, 80 orang pimpinan gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), utusan kaum perempuan dan pemuda, para pelaku ekonomi, politik dan budaya, yang prihatin atas situasi itu terlibat dalam konsultasi Nasional Gereja dan Ágape.
Tema Konsultasi, “Tuhan, dalam Rahmat-Mu, Ubahlah Dunia”, dengan subtema, “ AGAPE dari Deklarasi Menjadi Aksi”.
Presiden DGD (Dewan Gereja-gereja se-Dunia), Pdt. Dr. SAE Nababan, dalam renungan pada pembukaan konsultasi mengritik gereja yang tidak peduli terhadap ketidakadilan yang berlangsung di tengah masyarakat. Ia menguraikan, ada tiga penyebab sikap ketidakpedulian itu, (1) pengejaran keselamatan jiwa (kesalehan pribadi sebagai warisan pietisme), (2) kuasa tradisi gereja yang membentuk pola pikir dan pola hidup manusia, yang hampir bersifat mutlak, dan (3) keterbatasan pergumulan yang terus-menerus dengan Firman Tuhan di tengah perjalanan hidup. Karena ketidakpedulian ini, kita cenderung menjauhkan diri dari ketidakadilan yang mendera rakyat, tidak berani bersama rakyat menghadapinya dan secara tegas memberitakan, mengusahakan dan menegakkan keadilan bagi semua orang, sebagai kehendak Allah.
Dr. Nababan menegaskan, kerinduan mendalam setiap manusia dan setiap komunitas manusia bahkan setiap bangsa adalah memperoleh keadilan dan perdamaian.
Karena hanya dengan adanya keadilan dan perdamaian, kehidupan manusia dapat berkembang sejahtera. “Keduanya tak terpisahkan”, ujarnya. Ia menyatakan kegembiraannya dengan kehadiran peserta konsultasi, walau hanya kelompok kecil. Namun kelompok yang peduli, dan di hadapan Tuhan, kelompok-kelompok kecil ini juga mewakili gereja. Kehadiran dalam konsultasi ini, menurut Nababan, adalah keberanian melawan arus, pada saat kebanyakan orang terpukau, terlena bahkan terbenam arus globalisasi.
Melalui diskusi, penggalian pengalaman, analisis sosial, Ibadah, refleksi teologis, peserta bergumul, menafsirkan ulang teks Alkitab sesuai dengan konteks, membaca kembali secara kritis. Kesadaran yang muncul adalah, gereja sejatinya menjadi komunitas yang transformatif dengan mengembangkan teologi yang berpihak kepada rakyat dan bumi. Untuk itu perlu upaya terus-menerus memampukan gereja menjadi gerakan ketimbang institusi yang berpihak kepada rakyat dan bumi.
Andaikan Tak Ada Pesta Natal
Konsultasi tak bermakna bila tak disusul aksi. Tentu, gereja-gereja atau komunitas Kristiani di negeri ini mampu merumuskan aksi sesuai konteks masing-masing. Kendati begitu, ada sesuatu yang sangat konkret yang dapat dilakukan bersama-sama, kalau mau.
Di pekan-pekan advent, menyongsong natal ini, sebaiknya kita membebaskan diri dari jerat neolib. Misalnya, tak perlu membeli pohon natal serta segala perniknya di mal-mal. Yesus yang lahir dalam kemiskinan kenapa mesti dirayakan dalam kegemerlapan? Kita toh bisa meracik sendiri tema natal dan segala perniknya di rumah kita dengan apa yang ada pada kita. Ada kembang, ada pohon hidup di rumah, dan terutama mempersiapkan hati yang penuh shalom (damai sejahtera).
Pesta Santa Claus atau sinterklas itu sihir neolib, boikot saja. Tak ada gunanya buat kita. Dan coba Anda hitung ongkos pesta natal di negeri ini secara total. Konon orang Kristen anggota jemaat gereja-gereja anggota PGI yang ada 87 sinode itu sekitar 10 juta. Kita hitung secara sederhana, ada sekitar 20 ribu komunitas atau jemaat yang masing-masing 500 orang anggotanya. Biasanya pesta natal setiap jemaat paling sedikit Rp 20 juta misalnya. Berapa uang terkumpul setiap pesta natal? Tak kurang dari Rp 400.000.000.000 (400 milyar rupiah).
Belum lagi natal marga, keluarga, polisi, DPR/D, Parpol, dan seterusnya dan seterusnya. Berapa trilyun uang yang dibuang sia-sia untuk pesta, yang menurut nabi Amos, tak disukai Tuhan? Berapa sekolah dan rumah sakit untuk rakyat bisa dibangun?
Andaikan gereja-gereja bersatu mengembalikan pesta natal kepada situasi natal yang pertama, kita tidak perlu berpesta di tengah semakin sempurnanya penderitaan petani, nelayan dan buruh. Dan kita akan mampu mengatasi neolib …
LOKAKARYA PENGUATAN ORGANISASI RAKYAT PAPUA DI BINTUNI
Agar Korban Mampu Melawan Ketidakadilan, 18 perempuan dan laki-laki warga Kelompok Teluk Bintuni, Propinsi Papua Barat, terdiri atas koordinator suku, pemimpin adat, pekerja gereja, tokoh perempuan dan pemuda, berkumpul di Gereja Sion Sibena GKI di Tanah Papua Klasis Bintuni, menggumuli persoalan; bagaimana memperkuat organisasi rakyat Papua. Kegiatan Lokakarya Penguatan Organisasi Rakyat Papua, diselenggarakan oleh PMK HKBP Jakarta, bekerjasama dengan Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI- TP) yang berlangsung pada 22-25 November 2008.
Kabupaten Teluk Bintuni boleh jadi salah satu kawasan di Tanah Papua yang memperlihatkan acara terang cengkeraman globalisasi ekonomi pasar bebas; kehadiran pertambangan batu bara minyak, pabrik kayu lapis, serta yang paling mutakhir tambang gas alam BP Tangguh. Semua ini berakibat kepada semakin rusaknya hutan hujan tropis serta tergusurnya rakyat Papua. Kekayaan alam yang disedot dari Teluk Bintuni sebagian besar dinikmati pusat-pusat bisnis dan kekuasaan di Jakarta.
Jadi kalau ditanya kepada rakyat di Teluk BIntuni apa dampak globalisasi maka jawabnya tak jauh berbeda dengan peserta lokakarya ini : (1) Orang Papua terpinggirkan, (2) lingkungan hidup rusak, (3) mutu pendidikan rendah, (4) budaya Papua (bahasa, tarian, kearifan) rusak, (5)perempuan Papua sengsara.
Kendati begitu, ada juga catatan positif seperti tergali dalam diskusi dengan Pdt.Jaspert Slob perihal “Globalisasi dan Papuanisasi”. Yang positif dari globalisasi berkaitan dengan semakin berkembangnya demokratisasi,pengetahuan baru serta teknologi informasi. Peserta juga menganggap dengan bercermin dari dampak negatif, bisa melakukan introspeksi, bagaimana memperkuat diri sendiri.
Menurut Pdt. Slob, globalisasi harus diimbangi dengan penguatan rakyat Papua yang disebutnya Papuanisasi. Sekarang sudah banyak orang Papua menjadi aparat dan pejabat pemerintah. Bagaimana menyadarkan mereka agar tidak lepas dari akar budayanya sendiri dan berpihak kepada kepentingan rakyat Papua. Di sini, kalau rakyat Papua merasa selama ini jadi korban ketidakadilan, mesti memperkuat dirinya melalui organisasi rakyat yang demokratis untuk menegakkan keadilan dan perdamaian.
Indera Nababan mengajak peserta untuk mulai bertanya; apakah rakyat Bintuni, masyarakat tujuh suku, bisa mengorganisir diri, sungguh-sungguh bersatu untuk bisa menjadi pemenang? Bagaimana membuat agar organisasi rakyat disini benar-benar bersatu dan demokratis ? Apakah dengan Teluk Bintuni ini menjadi kabupaten, rakyat sudah sejahtera?
Nah, itu semua mesti diperjuangkan, kita harus memampukan organisasi-organisasi rakyat yang ada di sini, apakah itu organisasi adat, perempuan, pemuda,bahkan gereja, bersama-sama sadar kemudian membangun kekuatan untuk menegakkan keadilan. OR harus menunjukkan kekuatan rakyat untuk melakukan perubahan. Dengan mengorganisasikan dirinya, rakyat menuntut penghormatan dan penghargaan sebagai manusia yang memiliki harga diri. Organisasi rakyat berjuang untuk menegakkan martabat manusia. Jika itu terjadi, maka cita-cita rakyat bagi kehidupan yang sejahtera dapat diwujudkan, karena rakyat telah mampu mengurus dirinya sendiri.
Dalam kesempatan itu, Bupati Bintuni drs. Alfons Manibuy memberikan paparan ikhwal “Teluk Bintuni Hari Ini”.Ia gembira dengan lokakarya ini karena diharapkan oleh kesadaran baru, rakyat semakin mampu berpartisipasi di dalam proses pembangunan.
Alhasil lokakarya menurut peserta berhasil menyadarkan mereka untuk melakukan introspeksi tentang percepatan di antara rakyat Papua sendiri. Karena itu, mereka menyusun tindak lanjut antara lain:
(1) Membenahi struktur kelembagaan masyarakat adat mulai dari tingkat kampung, distrik hingga kabupaten,
(2)Perlindungan dan penguatan masyarakat adat dari basis masing-masing,
(3) Memberdayakan para perempuan Papua Teluk Bintuni untuk memperjuangkan hak-haknya.
(4) Membenahi organisasi pemuda Bintuni (IPTB= Ikatan Pemuda Teluk Bintuni) agar menjadi organisasi rakyat yang kuat dan demokratis.
CIMW news
Pelatihan Trauma Healing Bagi Mantan BMI dan Keluarga
Jakarta - Sikap kasar dan tidak senonoh yang dilakukan oleh majikan terhadap tenaga kerja Indonesia/wanita (TKI/W) di luar negeri, menyebabkan banyak TKW harus kembali ke Indonesia dengan kondisi sakit, cacat hingga hamil ataupun membawa anak hasil perkosaan oleh majikan. Perbuatan yang dilakukan bisa berupa omelan, makian, pemukulan, pelecehan seksual hingga pemerkosaan.
Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW), sebagai salah satu lembaga yang perduli atas kondisi buruh migrant di Indonesia, menyelenggarakan kegiatan pelatihan “Trauma Healing” pada 25-28/12/08. Kegiatan bertujuan berbagi (sharing) pengalaman mengenai permasalahan yang dihadapi TKW selama bekerja di luar negeri, serta melakukan proses penyembuhan dalam mengatasi trauma yang dialami. pelatihan dilaksanakan di Crisis Center CIMW, Jl. Bulu Perindu Blok W No.7, Duren Sawit, Jakarta Timur. Kegiatan diikuti oleh 20 peserta yang mayoritas perempuan yang merupakan mantan TKI/W dari Indramayu dan Sukabumi.
Suster Brigita sebagai salah seorang fasilitator, sudah cukup berpengalaman dalam proses trauma healing. Banyak kegiatan yang sudah dilakukannya untuk membantu survivor (khususnya korban bencana di Aceh dan Jogja) berperan dalam proses penyembuhan agar mereka pulih dari trauma atas kejadian yang telah menimpa mereka. Dalam kegiatan pelatihan Trauma Healing bagi mantan TKI/W oleh CIMW ini, mereka dikenalkan pengertian trauma dan cara penyembuhannya. Gejala-gejala yang umum timbul setelah mengalami masalah seperti ini adalah sering merasa tidak sehat (pusing, sakit kepala, mual, dll), rendah diri, selalu cemas, bahkan depresi untuk kasus yang lebih berat seperti pemerkosaan.
Proses kegiatan penyembuhan yang dilakukan oleh Suster Brigita dan tim, adalah dengan memberikan pelatihan Capacitar yang meliputi pelatihan pernafasan, gerakan Tai Chi yang bertujuan untuk melepas masa lalu dan membuka diri untuk menerima keadaan, pelatihan pengendalian emosi menggunakan jari-jari tangan, serta cara pemijatan untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan akibat trauma yang dialami. (Adi)
PBJ news
Lokakarya Buruh Perempuan
*Reintegrasi Buruh Perempuan dalam Menghadapi Krisis Global
Jakarta - Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ) PMK HKBP Jakarta (organisasi non pemerintah) yang mempunyai fokus program pada buruh pabrik telah melaksanakan lokakarya dengan tema ”Buruh Perempuan dan Tantangan Global”. Lokakarya yang ditujukan untuk buruh perempuan ini telah diselenggarakan secara berseri sebanyak 3 tiga kali mulai November – Desember 2008 yang lalu.
Lokakarya itu dihadiri 62 peserta, berasal dari wilayah industri Cakung Cilincing, Balaraja, Tangerang, Serang, Bogor dan Bekasi. Tujuan lokakarya, bagaimana buruh perempuan dapat mengetahui dampak krisis global terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Materi yang diberikan selain terkait dengan globalisasi dan gender, lokakarya ini menganalisis situasi sejumlah negara-negara kaya saat ini yang mengalami resesi, sebagian karena kredit yang ketat dan sebagian lagi karena melonjaknya harga minyak pada 2008. Pendapatan nasional di Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang turun. Selain itu banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan dan lemahnya daya beli konsumen, mengakibatkan perekonomian Amerika Serikat mengalami kemunduran.
Di Indonesia, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah terjadi di sejumlah perusahaan yang tersebar di berbagai daerah sejak beberapa bulan lalu. Pada 2009 diperkirakan lebih dari 3 juta buruh akan di PHK, terutama di bidang manufaktur dan perdagangan. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK hingga November 2008 mencapai 66.603 orang. PHK mulai terjadi Januari hingga Maret 2008. Tingkat PHK tertinggi di DKI Jakarta sebanyak 14.268 orang, Jawa Tengah (1.190), Maluku (515), Kalimantan Barat (496), Riau (407), dan Sumatera Selatan (112). Kebanyakan yang di PHK adalah buruh pabrik tekstil yang mayoritas perempuan. Sementara di Sumatera Utara sebanyak 20.000 orang dirumahkan.
Menindaklanjuti tiga lokakarya buruh perempuan itu serta melihat situasi yang mengancam buruh pabrik, PBJ mencoba untuk mengadakan Dialog terbuka antara buruh perempuan dengan pihak terkait yang bertema “Reintegrasi Buruh Perempuan Dalam Menghadapi Krisis Global”. Kegiatan itu dilaksanakan pada 30,31/01/09 - 1/02/09, di Wisma Samadi, Jln Dermaga 6 Klender, Jakarta Timur. Narasumber yang diundang antara lain dari Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, Direktur Utama PT JAMSOSTEK (Persero), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Cq Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja DEPNAKERTRANS RI, Gubernur BI Cq Direktorat Kredit BPR, UMKM BANK Indonesia, Ibu Parkati (Pelaku Usaha Kecil dari Mantan Buruh Pabrik), Carla June Natan (Koordinator PMK HKBP Jakarta). Tujuan dari kegiatan itu adalah agar Buruh mendapatkan gambaran terkait dampak krisis global terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia khususnya terhadap buruh perempuan. Bersamaan dengan itu, yang dapat dimanfaatkan oleh buruh dalam memperoleh informasi mengenai dana-dana pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan global. (Adi)
Jakarta - Sikap kasar dan tidak senonoh yang dilakukan oleh majikan terhadap tenaga kerja Indonesia/wanita (TKI/W) di luar negeri, menyebabkan banyak TKW harus kembali ke Indonesia dengan kondisi sakit, cacat hingga hamil ataupun membawa anak hasil perkosaan oleh majikan. Perbuatan yang dilakukan bisa berupa omelan, makian, pemukulan, pelecehan seksual hingga pemerkosaan.
Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW), sebagai salah satu lembaga yang perduli atas kondisi buruh migrant di Indonesia, menyelenggarakan kegiatan pelatihan “Trauma Healing” pada 25-28/12/08. Kegiatan bertujuan berbagi (sharing) pengalaman mengenai permasalahan yang dihadapi TKW selama bekerja di luar negeri, serta melakukan proses penyembuhan dalam mengatasi trauma yang dialami. pelatihan dilaksanakan di Crisis Center CIMW, Jl. Bulu Perindu Blok W No.7, Duren Sawit, Jakarta Timur. Kegiatan diikuti oleh 20 peserta yang mayoritas perempuan yang merupakan mantan TKI/W dari Indramayu dan Sukabumi.
Suster Brigita sebagai salah seorang fasilitator, sudah cukup berpengalaman dalam proses trauma healing. Banyak kegiatan yang sudah dilakukannya untuk membantu survivor (khususnya korban bencana di Aceh dan Jogja) berperan dalam proses penyembuhan agar mereka pulih dari trauma atas kejadian yang telah menimpa mereka. Dalam kegiatan pelatihan Trauma Healing bagi mantan TKI/W oleh CIMW ini, mereka dikenalkan pengertian trauma dan cara penyembuhannya. Gejala-gejala yang umum timbul setelah mengalami masalah seperti ini adalah sering merasa tidak sehat (pusing, sakit kepala, mual, dll), rendah diri, selalu cemas, bahkan depresi untuk kasus yang lebih berat seperti pemerkosaan.
Proses kegiatan penyembuhan yang dilakukan oleh Suster Brigita dan tim, adalah dengan memberikan pelatihan Capacitar yang meliputi pelatihan pernafasan, gerakan Tai Chi yang bertujuan untuk melepas masa lalu dan membuka diri untuk menerima keadaan, pelatihan pengendalian emosi menggunakan jari-jari tangan, serta cara pemijatan untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan akibat trauma yang dialami. (Adi)
PBJ news
Lokakarya Buruh Perempuan
*Reintegrasi Buruh Perempuan dalam Menghadapi Krisis Global
Jakarta - Pelayanan Buruh Jakarta (PBJ) PMK HKBP Jakarta (organisasi non pemerintah) yang mempunyai fokus program pada buruh pabrik telah melaksanakan lokakarya dengan tema ”Buruh Perempuan dan Tantangan Global”. Lokakarya yang ditujukan untuk buruh perempuan ini telah diselenggarakan secara berseri sebanyak 3 tiga kali mulai November – Desember 2008 yang lalu.
Lokakarya itu dihadiri 62 peserta, berasal dari wilayah industri Cakung Cilincing, Balaraja, Tangerang, Serang, Bogor dan Bekasi. Tujuan lokakarya, bagaimana buruh perempuan dapat mengetahui dampak krisis global terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Materi yang diberikan selain terkait dengan globalisasi dan gender, lokakarya ini menganalisis situasi sejumlah negara-negara kaya saat ini yang mengalami resesi, sebagian karena kredit yang ketat dan sebagian lagi karena melonjaknya harga minyak pada 2008. Pendapatan nasional di Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang turun. Selain itu banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan dan lemahnya daya beli konsumen, mengakibatkan perekonomian Amerika Serikat mengalami kemunduran.
Di Indonesia, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah terjadi di sejumlah perusahaan yang tersebar di berbagai daerah sejak beberapa bulan lalu. Pada 2009 diperkirakan lebih dari 3 juta buruh akan di PHK, terutama di bidang manufaktur dan perdagangan. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK hingga November 2008 mencapai 66.603 orang. PHK mulai terjadi Januari hingga Maret 2008. Tingkat PHK tertinggi di DKI Jakarta sebanyak 14.268 orang, Jawa Tengah (1.190), Maluku (515), Kalimantan Barat (496), Riau (407), dan Sumatera Selatan (112). Kebanyakan yang di PHK adalah buruh pabrik tekstil yang mayoritas perempuan. Sementara di Sumatera Utara sebanyak 20.000 orang dirumahkan.
Menindaklanjuti tiga lokakarya buruh perempuan itu serta melihat situasi yang mengancam buruh pabrik, PBJ mencoba untuk mengadakan Dialog terbuka antara buruh perempuan dengan pihak terkait yang bertema “Reintegrasi Buruh Perempuan Dalam Menghadapi Krisis Global”. Kegiatan itu dilaksanakan pada 30,31/01/09 - 1/02/09, di Wisma Samadi, Jln Dermaga 6 Klender, Jakarta Timur. Narasumber yang diundang antara lain dari Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI, Direktur Utama PT JAMSOSTEK (Persero), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Cq Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja DEPNAKERTRANS RI, Gubernur BI Cq Direktorat Kredit BPR, UMKM BANK Indonesia, Ibu Parkati (Pelaku Usaha Kecil dari Mantan Buruh Pabrik), Carla June Natan (Koordinator PMK HKBP Jakarta). Tujuan dari kegiatan itu adalah agar Buruh mendapatkan gambaran terkait dampak krisis global terhadap situasi ketenagakerjaan di Indonesia khususnya terhadap buruh perempuan. Bersamaan dengan itu, yang dapat dimanfaatkan oleh buruh dalam memperoleh informasi mengenai dana-dana pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan global. (Adi)
Langganan:
Postingan (Atom)