Selasa, 28 September 2010
PELATIHAN KEPEMIMPINAN RAKYAT
PMK HKBP – Jakarta untuk kedua kalinya menyelenggarakan pelatihan Community Leaderhip Formation (CLF) di Wisma Kinasih, Bogor, 16-20 Mei 2010. Sebanyak 32 peserta dari berbagai daerah di Indonesia (Papua, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Banten, Jakarta, Indramayu, Sukabumi dan Garut) berkumpul dan belajar bersama membangun kepemimpinan organisasi rakyat di berbagai bidang kehidupan: petani, nelayan, buruh, buruh migrant, guru dan pemuda.
Selain saling berbagi pengalaman, peserta juga dibekali dengan berbagai materi, a.l.: analisa sosial dan politik, globalisasi – neoliberalisme dan negara bangsa, membangun jaringan, etos kerja, revolusi rakyat, gender, managemen keuangan, dan organisasi rakyat.
Dalam evaluasi, peserta mengakui pelatihan ini telah menjadi ajang belajar bersama dari berbagai pengalaman peserta yang beragam, menambah jaringan serta memperkuat tekad dan semangat melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sekembalinya ke tempat masing-masing. (BS)
Senin, 27 September 2010
NENEK MOYANGKU ORANG PELAUT RAKYAT PESISIR SEMAKIN BANGKRUT
Nenek Moyangku Orang Pelaut
Rakyat Pesisir Semakin Bangkrut
Masyarakat pesisir, rakyat penghuni perkampungan miskin dan kumuh di tepian pantai pulau – pulau Nusantara kini tak bangga lagi menyanyikan lagu “Nenek moyangku orang pelaut”. Soalnya nasib rakyat pesisir, terutama nelayan pinggir pantai (tradisional) yang tak memiliki perahu motor, sungguh malang. Mereka terpuruk oleh pengusaha – pengusaha perikanan (nelayan berdasi) yang memiliki armada penangkapan ikan. Sebagian besar dari mereka kemudian menjadi buruh nelayan. Singkat kata, Rakyat pesisir bangkrut dan teraniaya.
Seabreg persoalan menggempur masyarakat pesisir: mulai dari ketidakjelasan kawasan tangkap ikan, untuk nelayan tradisional, ketidaktahuan dan kesulitan mengakses bantuan pemerintah, bobroknya pelayanan public, instansi pemerintah, sampai kepada maraknya praktek kejahatan perdagangan orang (trafficking). Paling tidak itulah yang terkuak dalam berbagai kegiatan Center for Indonesia Migran Worker (CIMW) Jakarta, sepanjang 2009-2010 menjangkau masyarakat pesisir dibeberapa desa nelayan di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Kegiatan yang bermula dari upaya memperkuat organisasi untuk mantan buruh migran dan keluarganya, berkembang menjadi keperdulian kepada seantero masyarakat pesisir, termasuk nelayan, petani, pedagang kecil dan berbagai usaha rakyat untuk bertahan hidup. CIMW sadar betul, persoalan buruh migran tak lepas dari persoalan komunitas, tempat BMI berasal, baik di pesisir maupun pedalaman yakni: kemiskinan dan ketidakadilan. Tak mungkin mengatasi persoalan buruh migran tanpa keperdulian kepada kemiskinan dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat sekitarnya.
Bila pada nomor – nomor terdahulu Jurnal Rakyat melaporkan kiprah BMI di Indramayu atau Sukabumi (Jawa Barat, Sabah (Malaysia) dan Lembata, Adonara, Flores (NTT), dalam nomor ini diwartakan kisah masyarakat pesisir dari Tanjung Tiram dan Pantai Labu, Sumatera Utara serta Karawang, Jawa Barat.
CIMW percaya, nasib rakyat bisa berubah bila ada kemauan memperkuat dirinya melalui organisasi agar mampu menegakkan hak dan martabatnya. Dengan berjuang melalui organisasi rakyat yang kuat, berdaulat dan demokratis, masyarakat pesisir bangkit dari kebangkrutan dan bisa lagi menyanyikan lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut“.
SELAMAT MEMBACA
HAI RAKYAT, GUNAKAN HAK REVOLUSIONERMU
Hai Rakyat, Gunakan Hak Revolusionermu
“Negeri ini dan segala institusinya adalah milik rakyat yang menghuninya. Manakala jenuh dan muak terhadap pemerintah, mereka dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengubah atau hak revolusionernya untuk meruntuhkannya.”
Ungkapan paten dari Abraham Lincoln 150 tahun silam dalam pidato pertama sebagai Presiden Amerika Serikat, dikutip Indera Nababan sebagai contoh bagaimana hubungan hubungan rakyat dengan pemerintah. Karena hampir seluruh aspek kehidupan rakyat di negeri ini carut-marut akibat semua institusi yang ada telah gagal melakukan tugas yang diembannya, rakyat perlu bertindak berdasarkan hak revolusionernya.
Revolusi Rakyat. Itulah topik bahasan yang dikemukakan Indera Nababan dari PMK HKBP Jakarta, dalam kegiatan Urban Community Leadership Formation Training Programm, yang diselenggarakan oleh INDEMO dan PMK HKBP Jakarta, 24 – 28 Mei 2010 di Vila Baladegana, Bogor. Partisipan pelatihan adalah 23 orang pemimpin kelompok-kelompok aksi mahasiswa Jakarta, pemimpin serikat buruh, serta pergerakan kaum “cacat”. Ada beberapa mantan aktivis gerakan reformasi tahun 1998. Tujuan kegiatan, berefleksi atas 12 tahun perjalanan reformasi dan bagaimana upaya memperkuat rakyat untuk melakukan perubahan yang cepat dan mendasar, agar sesuai dengan cita-cita dan harapan rakyat.
Bagi Indera, situasi Indonesia hari ini benar-benar sudah amburadul. Perubahan lewat “demokrasi prosedural” yang dianut selama 12 tahun di bawah bendera “reformasi” sudah tidak menjanjikan. Nyaris tak ada lagi yang dapat dibanggakan di republik ini, Mana bisa di negeri yang memiliki tanah yang begini luas, jutaan petani justru tak bertanah, karena pemerintah tak pernah tegas menjalankan reforma agraria. Korupsi merajalela, hutan lindung dijual ke orang asing, jutaan orang jadi buruh dengan upah murah atau jadi budak di negeri seberang. “Kalau republik ini mau selamat, dapat disejajarkan dengan bangsa yang bermartabat, dibutuhkan sebuah perubahan cepat di segala bidang kehidupan bernegara. Perubahan cepat itu namanya revolusi,” tegas Indera Nababan.
Ada partisipan bertanya, “Aktivis-aktivis selalu mendengungkan revolusi. Persoalannya ketika perubahan terjadi, teman-teman aktivis justru tidak siap. Pola apa yang harus dipakai? “Tanpa partisipasi rakyat, tak ada guna jadi aktivis,” sergah Indera. Pola apa yang harus dipakai teman-teman, lanjutnya, akan Anda temukan di lapangan. Yang penting ada kesatuan visi dan misi. Ia memberi contoh, karena kekuatan buruh terkotak-kotak, padahal isunya sama, maka kaum buruh tetap tak bisa sejahtera. Karena itu, katanya lagi, membangun kesadaran rakyat adalah kerja yang maha penting. “Tanpa rakyat, kita tidak bisa apa-apa,” tegasnya.
Pembicara lain dalam pelatihan itu adalah Edicio dela Torre, mantan pastor dan mantan pemberontak dari Filipina. Dia bicara tentang Globalisasi, Neoliberalisme dan Negara Bangsa. Persoalan dunia sekarang, tutur Ed (sapaan akrabnya), adalah penggiringan keuangan dan ekonomi yang menguntungkan negara kaya. Dua pertiga dari populasi masyarakat di negara kaya (utara) menikmati keuntungan dari globalisasi ekonomi ini, dibandingkan dengan hanya sepertiga populasi negara selatan yang menikmatinya. Tantangan di Filipina dan Indonesia tentang dampak globalisasi adalah pengaruh global terhadap pemerintahan. Pemerintah di negara-negara ini sudah tunduk tak berdaya menghadapi neoliberalisme alias tekanan pasar bebas.
Karena itu, urai Ed lebih lanjut, kita tak mungkin mengatasi situasi ini secara sendiri-sendiri. Rakyat harus terorganisasikan di tingkat lokal, beraliansi secara nasional dan berjaringan secara internasional. Kekuatan rakyat adalah kunci, namun bermain di pentas lokal tak cukup. Harus ada sekutu secara nasional dan didukung jaringan internasional. Untuk itu rakyat perlu memanfaatkan keuntungan dari teknologi informasi dan komunikasi. Inilah peran penting kaum muda terdidik di era globalisasi: memampukan organisasi-organisasi rakyat memanfaatkan perkembangan teknologi dan komunikasi.
Ada isu yang sama antara Indonesia dan Filipina terhadap globalisasi menurut Ed, yakni pemerintah negara kita tidak berpihak kepada rakyat. Ini justru ancaman sekaligus peluang. Kita harus mengelola tujuan perjuangan kita. Karena itu, kata Ed: “Teman-teman harus berjuang dan jangan membuang banyak energi untuk persoalan-persoalan sepele. Kita harus punya banyak tenaga untuk berjuang secara berkesinambungan. Cita-cita kita tentang negara sejahtera adalah menimbun jurang antara si kaya dan si miskin. Untuk perlu mengakumulasi setiap kekuatan. Globalisasi akan membuat jurang yang lebar dan dalam, akan disambut oleh gerakan protes rakyat, dan kita perlu munculnya pemimpin-pemimpin baru. Karena itu pelatihan seperti ini sangat penting. Ketika momentum datang, kita siap untuk mengambil alih.”
Disamping kedua pembicara senior, hadir juga dalam diskusi-diskusi, Beator Suryadi, Ray Rangkuti dan Eggi Sujana. Ray memaparkan topik Dialektika Demokrasi. Apa yang terjadi di negeri ini sekarang, ungkap Ray, adalah kekacauan politik dan kesemrawutan. Ini karena orang mengukur demokrasi hanya secara teknis, prosedural dan menafikan substansi. Akibatnya yang paling mengerikan adalah perselingkuhan atau kartel politik. Adapun fasilitator pelatihan adalah Amir Daulay dari INDEMO dan Henry Darungo dari PMK HKBP. Henry membagi pengalamnnya ikhwal kiat-kiat membangun dan memperkuat organisasi rakyat, sedangkan Bung Amir menekankan pentingnya ketrampilan bicara di depan umum (public speaking) dan pemenfaatan media dalam perjuangan.
Dan inilah syair yang muncul dalam pelatihan:
Acungkan tinju kita
Satu cita
Memperkuat pergerakan rakyat
Kokoh, berdaulat
Rapatkan barisan
Dengan satu tekad bulat
Jalan revolusi rakyat
Menegakkan keadilan
Merdeka!
JANGAN DATANG SEBAGAI ORANG PINTAR
JANGAN DATANG SEBAGAI ORANG PINTAR
“Kita harus mengubah paradigma kita. Jangan datang sebagai orang pintar. Namun berjuang bersama mereka. Jangan kita anggap mereka tak bisa apa-apa.” Itulah pesan Pdt. Santoni Ong, Ketua Oikumene Masyarakat (Oikmas) Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah Jawa Barat, tatkala membekali 11 orang muda asal Papua lulusan Sekolah Tinggi Teologia (STT) Setia Jakarta, yang akan kembali ke kampung halaman. Pesan itu disampaikan dalam kegiatan “Pelatihan Pengembangan Sikap Mahasiswa Papua”, di GKI Kav Polri, Jelambar, Jakarta Barat, pada 8, 14 dan 15 Mei 2010.
Pelatihan yang difasilitasi oleh Jemaat GKI Kav Polri bersama PMK HKBP Jakarta ini, bertujuan, mempersiapkan para sobat muda yang akan kembali berkiprah di Papua untuk memiliki visi bersama dalam mewujudkan Papua sebagai tanah damai yang berkeadilan dan sejahtera. Adapan materi yang digali dan dibicarakan bersama antara para fasilitator dan partsipan pelatihan meliputi Potret Diri dan Analisis Situasi, Organisasi Rakyat dan Komunikasi serta Spiritualitas dan Etos Kerja.
Melalui materi Potret Diri dan Analisis Situasi, Henry Darungo mengajak partisipan menggali pengalamannya selama menjadi mahasiswa di Jakarta dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan rakyat Papua. Beberapa sobat, seperti Ham dari Nabire, Friska dari Merauke, Wilmince, Samuel maupun Agustina, menganggap kesenjangan sosial karena ketidakladilan yang sangat terasakan ketika mereka pertama tiba di Jakarta. Dari kampung-kampung miskin di Papua, mereka tiba di Jakarta, kota yang dipenuhi “hutan “ gedung bertingkat. Tampaknya kekayaan yang disedot dari Papua atau kawasan lain Indonesia telah bermuara di Jakarta. Toh ada yang lucu, menurut Ham: bila di Papua “orang miskin tidur di dalam, orang kaya tidur di luar, “ maka di Jakarta terbalik, “orang miskin tidur di jalan (gelandangan dan orang miskin kota ) , orang kaya tidur di dalam (penghuni rumah-rumah mewah)”. Di Papua, orang miskin tidur dalam rumah-rumah sederhana mereka karena tak mampu jalan-jalan, tak ada uang. Sedangkan orang kaya yang punya duit (apalagi dari hasil korupsi), menghabiskan uangnya di luar rumah, bahkan sampai mabuk dan tidur di jalan.
Akan halnya Organisasi dan Komunikasi, seantero partisipan menyumbang pendapat. Mutiara menyebut, organisasi adalah wadah untuk berkumpul bersama dalam satu visi dan misi. Friska merumuskannya: perkumpulan orang-orang yang bekerjasama untuk melakukan atau mengerjakan hal-hal yang berguna bagi banyak orang. Jeffry menambahkan, sekumpulan orang yang di dalamnya ada badan pengurus, anggota, visi, misi dan tujuan bersama. Alhasil visi adalah mimpi, cita-cita, harapan atau tujuan bersama yang ingin dicapai dan misi adalah tugas yang harus dilakukan untuk mencapai cita-cita tadi. Fasilitator menekankan pentingnya sobat-sobat ini memperkuat organisasi rakyat, baik itu masyarakat adat atau kelompok-kelompok pemuda dan perempuan, di tempat pelayanan mereka nanti, agar rakyat memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan. Hanya melalui organisasi rakyat yang kuat, rakyat memiliki kemampuan untuk menegakkan hak dan martabatnya.
Kendati begitu, tanpa proses berkomunikasi yang baik, suatu cita-cita sebaik apapun tak akan terwujud. Itulah pentingnya kaum muda Papua yang akan pulang kampung perlu berintegrasi, menyatu dengan rakyat Papua yang akan dilayani. Mulai dari apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Jangan karena merasa datang dari Jakarta, merasa hebat, tahu semua dan mau menggurui rakyat. Itu hanya mengundang kegagalan.
Materi pamungkas adalah Spiritualitas dan Etos Kerja yang disampaikan Pdt. Santoni. Spiritualitas, adalah keyakinan yang tumbuh dari sebuah gaya hidup yang digerakkan oleh roh (spirit). Gaya hidup yang gerakkan oleh Roh Allah. Nah, bagaimana kita digerakkan oleh Roh, di tengah konteks kita yang dilanda kemiskinan yang parah, oleh ketidakadilan yang mengakibatkan penderitaan rakyat Papua. Pdt Santoni merumuskannya dalam ungkapan, “menjaga hidup dengan berbuah, menjadi berkat bagi sesama karena memiliki karakter dasar, yaitu kasih.”
Etos kerja sangat berhubungan dengan spiritualitas. Karena kerja, tegas Pdt Santoni, adalah anugerah, yang adalah pertolongan ilahi yang tidak diminta namun diberikan untuk kebaikan manusia. Karena itu, etos kerja yang baik ialah, Bekerja dengan tulus dan bekerja dengan syukur. Selain kerja sebagai anugerah, kerja juga adalah kepercayaan dan persembahan hidup. Dan sebagai manusia yang bertumbuh ke arah yang lebih baik, kerja adalah aktualisasi diri, kemampuan mengembangkan potensi diri, untuk mencapai yang terbaik.
Jadi selamat pulang kampung, bekerja bersama rakyat, memperkuat rakyat Papua mewujudkan keadilan, menuju Papua Tanah Damai
Langganan:
Postingan (Atom)